TAUBATKU


Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan

Diam-diam Qamar bergumam,”kemana ya si Jamal, jam segini kok masih belum pulang?”
            Dengan langkah gontai, Fitri menanggapi ucapan suaminya, “yaa…mungkin masih ada di jalan, maklum anak muda jaman sekarang kerjaanya suka ngeluyur terus.”
            “Sudahhlah Pak… Jamal kan sudah dewasa, nggak perlu banyak diawasi. Mendingan kita shalat maghrib dulu.”
            Senja itu suasana hening. Hanya angin semilir yang bergerak kesana-kemari. Suara gesekan sandal Jamal yang baru kembali keperaduannya. 
            “Assalamu’alaikum Warahmatullah” Qamar mengucap salam tanda shalat mereka sudah berakhir. Mendengar suara sandal, Qamar bergumam kepada Fitri, isterinya tercinta.
            “Jamal sudah pulang. Darimana tuh anak?”
            Pada waktu itu, Jamal masih merebahkan badannya untuk melepas lelah. Dengan langkah terseret, Qamar dan Fitri mendekati kamar anaknya.
            “Mal, darimana kamu? Jam segini kok baru pulang?” Mendengar kata-kata bapak nya itu, Jamal jadi terkejut refleks bangkit dari tidurnya.
            “Ehhh… Bapak  bikin kaget aja.”
            “Ayo jawab darimana kamu?!”
            “Yaah…Bapak ! Kayak nggak tahu anak muda saja. Ya dari jalan-jalan dong, Pak.”
            “Hei, Jamal! Kamu ini  sudah dewasa, dan sudah wajib melaksanakan shalat. Asal kamu tahu waktu, Bapak  nggak akan ngelarang kamu jalan.”
            “Jamal kan sudah tahu, Pak”
            “Tahu dengkulmu! Kok jam segini masih santai ditempat tidur? Ayo cepat ambil wudhu’ dan shalat sudah hampir isya.” Perlahan Qamar menggertak Jamal yang sudah mulai melawan. Namun dengan nada mencemo’oh, Jamal menjawab, “santai dulu dong, Pak, waktu shalat kan masih banyak, lagian masak Bapak  nggak kasihan sama aku yang baru datang dari perjalanan.” Dengan sangat geram Qamar menghardik Jamal, “Jamal…! Rupanya ini ya hasilnya ngeluyur kesana-kemari, sudah mulai lupa ibadah dan sudah berani melawan orangtua.!”
            Jamal mulai geram dan berdiri sembari membalas hardikan Bapaknya. “Ooo…rupanya bapak  sudah nggak menyangi aku lagi?! kalau begitu, lebih baik aku hengkang dari rumah ini, daripada harus mendengar hardikan bapak  terus-menerus!”
            “Apa! Apa katamu? Baik, kalau memang itu maumu. Pergilah dan jangan pernah kembali ke tempat ini, aku sudah muak melihat kelakuanmu, Pergi…pergi!” Qamar berteriak sembari meneteskan air mata didampingi Fitri yang hanya termangu menyaksikan sang buah hati yang telah berani mengiris hati Ayah-Ibunya. Namun Jamal tak menghiraukan lagi ratapan kedua orangtuanya dan terus melangkah meninggalkan mereka.
            Dentang suara bel telah menunjukkan Jam 01.00 malam. Namum, Jamal tetap berhura-hura bersama anak jalanan lainnya tanpa terbesit rasa bersalah sedikitpun di sanubarinya.
            “Hai…Mal! Ngapain kamu lama-lama disini? Pulanglah, kasihan Bokap ma Nyokap lo di rumah, haha…ha…”
            Suara anak jalanan pun mulai menyeruak di seantero markas mereka seraya memperolok-olok Jamal. Mulanya Jamal tak menghiraukan olok-olokan temannya itu. Namun lama-kelamaan Jamal mulai dongkol juga dengan pola-tingkah teman-temannya itu. “Hei…! elo semua tahu nggak? Gue ini diusir sama Bokap tak tahu diri itu” ujar Jamal keras.
            “Hah…disuir!? Haha…haha… kacian deh elo Mal, masih muda udah ngerasain usiran orangtua.”
            “Emangnya kenapa? daripada gue terkekang oleh ortuku disuruh ini kek, disuru itu, harus begini dan jangan begitu. Aaaah… pusing deh. Mendingan gue gabung sama elo-elo pada. Aku ngerasa bebas dan jadi bisa terhibur. Betul nggak?.”
            “Ya…betul juga, tapi masak kamu nggak kasihan sama ortumu?”
            “Kasihan sih Kasihan, tapi kalau mereka udah nggak akung ma gue lagi, ngapain juga aku betah-betah dirumah?.”
***
            Sudah setengah bulan Jamal hengkang dari rumahnya, tak ada kabar berita pada sang Ibu.  Dengan nada sedih Fitri berkata, “Pak…! Mengapa kamu tega mengusir Jamal, anak kita satu-satunya, Pak? Mengapa kamu usir dia yang sampai saat ini belum pulang juga.”
            “Alaah… ibu ini terlalu memanjakan anak. Seperti itulah jadinya kalau anak selalu di manja, nggak mau patuh dan bahkan berani pada orangtua.
            “Dia kan masih anak kita, Pak. Kasihan dia, lagi pula banyak cara lain untuk membuatnya dia jera.”
            “Aahh… sudah-sudah! jangan di ingat-ingat lagi anak itu, biarkan saja dia mau kemana, anak tak tahu di untung. Dikasihani malah makan hati. Sudah tidur saja sana sudah malam!.
            “Biarlah Bapak  tidur duluan, aku masih belum ngantuk”.
            “Yaa… sudah aku tidur duluan, jangan lupa kunci pintunya”.
            Dalam kesendiriannya, Fitri meratapi kesepian Jamal dan menyesali mengapa dia dulu tidak melarang Jamal untuk minggat. Maka ditengah malam yang sangat sunyi dan tenang itu, Fitri melangkah menuju tempat ibadahnya sembari melaksanakan shalat Tahajjud. Ada ketenangan yang mengalir pada jiwa Fitri.
            “Assalamu’alaikun Warahmatullah” Fitri mengakhiri shalatnya seraya diikuti dengan do’a untuk anak tercintanya.
            “Ya Rahman ya rahiem… hanya Kaulah yang dapat memberi hidayah kepada putra hamba. Ya Allah, semoga Kau memberi keselamatan kepadanya dan semoga Kau melindunginya. Walhamdulillahi robbil’alamin”.
            Dalam kesunyian  malam, Jamal berkelana tanpa tersirat sebuah tujuan spercik pun dibenaknya. Jamal tak merasa bersalah dan berdosa atas apa yang dilakukannya, ia telah lupa terhadap Ayah-Ibunya. Namum ketika Jamal tiba disuatu tempat, jiwa Jamal terasa tersiram oleh siraman  embun yang begitu menyejukkan lantaran kesunyian telah terpecahkan oleh lantunan ayat suci Al-qur’an. Seketika Jiwa Jamal bergetar seakan semua perbuatan dosanya menuntut pertanggungjawaban. Dengan langkah penuh dengan tanda tanya, Jamal menelusuri semak-semak untuk mencari sumber bunyi hingga pada akhirnya Jamal menemukan sumber lantunan ayat suci itu. Dengan begitu kencang, Jamal memasuki sebuah masjid yang dikelilingi oleh kamar-kamar ukuran kecil yang biasanya menjadi asrama para Santri. Dengan digerogiti rasa grogi, Jamal berucap salam “Assalamu’alaikum”.
            Namun, dari saking khusuknya pemuda itu tak mendengar suara Jamal. Jamal mengulangi Salamnya tiga kali hingga akhirnya pemuda itu mendengar terhadap suara Jamal. “Shadaqallahul adhim”.  
            Pemuda itu mengakhiri bacaannya. “Wa’alaikum salam” pemuda itu menjawab sembari menyalami Jamal dengan penuh persahabatan dan mempersilakan Jamal untuk duduk. Lalu pemuda itu memulai pembicaraan. “Namaku Zaini, kalau adik siapa?” grogi, Jamal menjawab “aku Jamal dari desa Ambunten”.
            “Lantas tujuan adik kemana kok larut malam seperti ini ada disini?” dengan suara gemetar Jamal menanggapi “aku mencari ketenangan kak, aku minta tolong berikanlah aku ketenangan seperti layaknya kakak”.
            “Dari raut wajahmu aku bisa membaca perasaanmu, kau sedang dirundung permasalahan. Kalau boleh aku tahu apa permasalahanmu mungkin kakak bisa membantu?”. Suara Zaini seakan memberi ketenangan kepada Jamal dan dengan suara terbata-bata, Jamal mulai bercerita dari awal dia bertengkar dengan Ayahnya sampai dia minggat.
            “Sebenarnya kau telah menuruti hawa nafsumu dan telah diperbudak oleh setan sehingga kau tega menyakiti hati kedua orangtuamu yang telah melahirkanmu dan telah berkorban mati-matian demi kamu, tapi kenyataannya kau balas dengan menyakiti hati mereka”.
            “Sebenarnya aku menyesal atas perbuatan itu kak, tapi apakah taubatku akan diterima oleh Allah?”
            “Seperti apapun dosa sang hamba kalau dia mau bertaubat dengan sungguh, niscaya Allah akan memberi ampunan”.
            “Terimakasih kak atas pemberian mau’idzahnya kepada aku, untuk bisa menjadi orang yang lebih baik”.
            “Oh…nggak apa-apa itu merupakan kewajiban kami memberitahu orang yang sedang lupa”.
            “Baik kak… aku akan coba mengabdi dan mencari kehidupan yang lebih baik”. Kemudian dengan serta-merta Jamal dibawa ke kamar mandi dan setelah itu shalat thajjud. Ada ketenangan yang tercermin di wajah Jamal, seakan dia telah menemukan kehidupan baru yang lebih bahagia.
***
            Mentari sudah mulai menyongsong di ufuk timur, kicauan burung-burung menghiasi rona-rona pagi yang begitu cerah, disamping itu sudah genap satu bulan Jamal minggat dari rumah dan sudah setengah bulan Jamal bergaul dengan dengan teman-temannya. Kini ia telah menemukan jati dirinya sebagai manusia.
            Sementara itu, tergambar rasa rindu yang tersirat pada raut wajah Fitri, seakan ingin cepat-cepat menemui Jamal dan mengampuni semua kesalahan-kesalahannya. “Jamal, mengapa kau tak pulang saja, nak…? Membantu ibumu dirumah, sepi rasanya rumah ini kalau kau tinggalkan…”. Bisiknya dalam hati.
            “Ada apa, Bu…? Pagi-pagi kok sudah melamun”. Suara Qamar  membuyarkan lamunan Fitri, kemudian menanggapinya.
            “Ini Pak, aku sudah terlalu rindu pada Jamal. Kapan ya Pak, Jamal akan pulang?”
            “Sudahlah Bu…! Jangan terlalu dipikirkan kalau sudah sadar akan kesalahannya pasti dia akan kembali”.
            Sejenak suasana mulai hening ketika perbincangan mereka sudah habis, hanya suara sedotan kopi Qamar memecah keheningan. Namun keheningan itu pecah manakala sebuah mobil Avanza melintasi depan rumah mereka “Pak, pagi-pagi begini kok sudah ada mobil lewat di depan rumah kita, jangan-jangan Jamal sudah pulang” Fitri berandai.
            “Mana mungkin Bu… kalau itu memang Jamal pastinya tadi berhenti”.
            “Ia ya…!”. Kembali hening menyelingkupi mereka. Namun keheningan mulai terpecahkan kembali tatkala mobil Avanza yang tadinya lewat kini berhenti pas di depan rumah mereka.
            “Lho… mobil itu kok berhenti didepan rumah kita, jangan-jangan Jamal Pak”
            “Masak iya sih bu, Jamal Pake’ mobil sebagus itu…? Ayo coba kesana, barangkali ada yang dapat kita bantu”.
            “Ayo Pak”.
            Namun sebelum mereka sempat keluar rumah untuk menghampiri mobil itu Ustadz Zaini sudah duluan ada di depan pintu rumah mengucapkan salam.  “Assalamu’alaikun”.
            “Wa’alaikumussalam. Mari silakan masuk dik”. Qamar mempersilakan kemudian memulai pembicaraan, “ada perlu sama siapa ya dik, mungkin kami dapat membantu?”.
            Perlahan Zaini mulai angkat bicara “begini Pak. Saya dari Pondok Pesantren desa sebelah ingin mengantarkan teman yang katanya ingin bertemu dengan Bapak  dan Ibu”.
            Dengan keheranan mereka bertanya, “teman, siapa yaa…?”.
            “Tunggu sebentar Pak, Bu, akan saya panggil”.
            Dengan langkah pasti Zaini menuju mobil Avanza dan mengajak Jamal menemui orangtuanya. Rasa grogi, malu dan berdosa menggerogoti jiwa Jamal untuk berucap salam pada sang Ibu, namun dengan Pakaian ala Pesantren Jamal mencoba memberanikan diri untuk berucap salam dan mencium kedua telapak tangan orangtuanya. Dengan didampingi Zaini, Jamal terus melangkah dan “Assalamu’alaikum”, begitu terkejutnya Qamar dan Fitri ketika melihat anaknya yang sudah lama pergi, kini kembali.
            “Jamal…?!”
            “Betul Pak, ini Jamal anak Bapak ”
            Perlahan Jamal berjalan menyalami Bapak  dan Ibunya, seraya meminta ma’af atas dosa-dosanya yang telah dan sering ia lakukan pada kedua orangtuanya dulu. Air mata kebahagiaan pun mengalir deras dari kelopak mata mereka bertiga serta diikuti oleh senyuman Zaini yang juga ikut bahagia atas  perjumpaan mereka. Ucapan syukur pun mengalun dari kedua bibir Ayah-Ibunya diikuti dengan ucapan terimakasih kepada Zaini yang telah menolong Jamal dari kesesatan. 
            Selang beberapa waktu Zaini pun kembali ke Pesantren dengan mobil Avanza-nya. Dan keesokan harinya Jamal di mondokkan ke Pesantren itu, meneruskan perjalanannya mencari ilmu dan memperdalam ilmu agama yang lebih sempurna.

 Yogyakarta, 11 Januari 2012

Ahmad Fathoni Fauzan, lahir 18 Agustus 1993 di Sumenep, Madura. Kini aktif di lesehan Sastra Kutub Yogyakarta sekaligus Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

RINI SI GADIS MISTERIUS


Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke Madura yang hampir memakan waktu tiga hari, aku tiba juga di pantai Slopeng. Ya, hari ini aku memang sengaja melawatkan waktu liburan panjangku untuk berefreshing sejenak di Pantai Slopeng, sebuah pantai yang terletak di paling ujung barat pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep. Pantai ini amat elok nan eksotik, selain banyak terdapat pepohonan kelapa yang tinggi menjulang, juga terdapat berbagai macam kuliner laut. Sebenarnya ini adalah kali kedua bagiku mengunjungi pantai ini. Sebelumnya sekitar tiga tahun yang lalu, tepatnya ketika aku masih duduk di bangku SMP dalam rangka kegiatan jelajah alam aku pernah datang kesini bersama teman sekelasku.  
Dikala itu aku duduk di tepi pantai dimana banyak pohon-pohon kelapa dengan daunnya yang menari-nari di tiup semilirnya angin. Suara gemuruh ombak menyanyikan simfoni kehidupan, sedang burung-burung camar mengudara sambil mengalunkan senandung melodi yang tak kumengerti bahasanya namun kupahami maksudnya. Hal ini tidak pernah kutemui di tempat lain Kota misalnya, atau gunung. Karena aku tidak begitu suka melakukan penjelajahan gunung. Sementara sang surya perlahan-lahan mulai tenggelam di ufuk barat. Seperti biasa setiap kali aku pergi ke pantai, aku selalu memesan sebuah penginapan yang tak jauh lokasinya dari pantai.
***
Malam harinya, aku berjalan di tepi pantai, karena aku ingin merasakan hembusan angin malam dan suara gemuruh ombak yang seolah-olah memanggil namaku. Mungkin dengan cara inilah aku bisa menghilangkan rasa penatku. Secara tidak sengaja kuamati dari kejauhan sesosok wanita mungil nan cantik sedang bermain air berkecipak-kecipuk ditepian pantai. “Ah… siapa itu?” begitulah pekikku. “Mungkinkah dia adalah sesosok makhluk halus penunggu pantai ini yang sedang kesepian ditinggal teman atau pacarnya?”. Dengan keyakinan dan langkah yang tak pasti aku mencoba untuk memberanikan diri mendekatinya.
“Ehem… ma’af mba’ sudah malam gini kenapa masih sendirian disini? Apa nggak takut?”
“Ah, nggak kok, biasalah sedang mencari keong”
“mencari keong kok malam-malam, gak takut ya dijepit kepiting, takutnya bukan keong yang dapat, malah kepiting. Boro-boro kepiting kalo dapatnya ikan hiu yang terdampar gimana? bukannya lebih enak mencari siang hari?”. Dengan pertanyaan yang seakan-akan gombal, wanita itu lantas hanya tersenyum manis padaku.
“Oh ia, kenalkan namaku Alan Adinata, tapi aku lebih sering dipanggil Bolang, karena aku sering menjelajah kemana-mana, dimana kakiku berpijak, maka disitulah aku ada”. Candaku.
“Namaku Rini” jawabnya singkat.
Tak terasa malampun sudah larut aku hendak kembali ke tempat penginapanku. Dan dia bergegas pergi meninggalkanku entah kemana yang ia tuju.  
***
Matahari baru saja bangun dari tidurnya, seiring suara bunyi ayam yang berteriak membangunkan jiwa-jiwa yang terlelap, menandakan pagi telah datang. Sebagian orang mungkin masih terbuai dengan alam mimpinya, dan mungkin sebagian lagi telah tersadar dari mimpi semunya. Mungkin aku termasuk pada pilihan kedua. Seusai mandi, seperti biasa aku tidak mungkin melewatkan waktuku untuk bersenam dan lari pagi. Saat itu aku bertemu dengan Rini yang sedang bermain air ditepian pantai. Hai…!” sapaku. Lagi-lagi dia hanya melontarkan senyuman manisnya. Aku mencoba kembali berbicara dengannya, karena semalam aku tidak sempat ngobrol panjang lebar sama dia. Kemudian Rini dan aku duduk di tepian pantai, tepatnya di atas sebuah pohon kelapa yang tumbang akibat diterjang ombak.
“Ngomong-ngomong teman-temanmu pada kemana?, kamu cewek yang semalam itu kan?” tanyaku heran, karena masih penasaran siapa sebenarnya gadis ini.
“Iya, kamu cowok yang semalam itu kan?” sahutnya.
“Rini, kamu masih belum jawab pertanyaanku”
“Pertanyaan yang mana?” jawabnya dengan nada yang sedikit menggoda.
“Teman-temanmu, apa kamu nggak takut tersesat dan kesepian menyendiri?”
“aku tinggal disini kok, tuh disana rumahku” sambil menunjukkan tangannya kearah rumah yang mulai nampak kusam dan ditumbuhi semak belukar disekelilingnya, kebetulan rumahnya disamping Hotel Utami, salah satu hotel yang berada di pantai itu. Tak terasa matahari mulai menyengat tubuh kami bedua. Rupa-rupanya perutku tidak bisa diajak kompromi lagi.
“Rin, kamu udah makan belum? aku sudah lapar nih”
“Belum, aku juga lapar, perutku sudah mulai keroncongan dari tadi” tuturnya. Aku mengajak Rini makan bersama di Hotel Utami. Dengan senang hati dia tidak menolak ajakanku. Sesampainya disana sang pelayan menghampiriku dan bertanya kepadaku.
“Mau pesan apa Mas?” tanya pelayan, sambil menyodorkan daftar menu makanan di mejaku.  
“Dua porsi nasi goreng dan ikan bakar yang masih segar satu ya. Mas! sekalian sama es kelapanya dua”.
“Ma’af! yang satunya lagi buat siapa ya mas?” tanyanya heran.
“Emmm… buat teman saya”  
“perasaan dari tadi saya tidak melihat siapapun selain Mas sendiri disini”. Kebetulan pada saat itu tempat makan Hotel Utami yang ditempati Alan lagi sepi pengunjung, dan sunyi. Kemudian sang Pelayan itu pergi berlalu meninggalkanku.  
“Aneh…!” aku mengernyitkan dahi, Rini menghilang dari pandanganku. “Ah, mungkin dia sedang ke WC” pikirku.
Tak lama kemudian tiba-tiba Rini duduk berhadap-hadapan denganku. Sementara sambil menunggu hidangan datang aku ngobrol-ngobrol dengan Rini.
“Rin, tak terasa telah seminggu lamanya aku berada di pantai sini. Dan selama itu pulalah aku mengenalmu, aku tidak ingin membohongi perasaanku ini, sepertinya ada gejolak jiwa yang tak sanggup lagi kubendung, kalau aku boleh berterus terang aku benar-benar mencintaimu. Rin, maukah kamu menjadi kekasihku?” Pintaku.
“Ma’af Bo, aku tidak bisa memberikan jawaban itu sekarang, sebab…” dia terhenti sejenak.
“Sebab apa, kamu diputus oleh pacarmu?”  buru aku meneruskan perkataan Rini yang tak sempat diteruskannya itu.
“Iya, seperti itulah” kelihatannya dia nampak amat sedih dikala mengingat masa lalunya karena ditinggal seorang pria yang sangat ia cintai.
“Rini, takkan pernah ada yang mampu menandingi kekuatan cinta yang telah aku berikan kepadamu, tak pernahkah kau melihat riak ombak di lautan nan jauh disana, yang mampu menerpa bebatuan karang yang besar? Sebesar itulah cintaku kepadamu”. “Sekali lagi ku mohon kamu mengerti Rin, Please!” ungkapku.
“Bukan seperti itu Bo, sebenarnya…” dia menoleh pahit lalu kemudian buru-buru beranjak pergi berlalu meninggalkanku. Aku tak menghiraukan sang pelayan memanggilku yang pada saat itu sedang mengantarkan pesananku, aku berusaha mengejar Rini yang lari meninggalkanku. Tapi usahaku nihil, tiba-tiba Rini menghilang.    
“Ya Tuhan, apa omonganku salah tadi?” kataku dalam hati dengan perasaan kecewa.  
Sejak saat kejadian itulah aku tak lagi melihat Rini si tubuh mungil nan cantik yang biasa selalu bermain air berkecipak-kecipuk detepian pantai. Setiap hari aku hanya duduk termangu di pantai seperti orang yang kelihatan bodoh dengan harap Rini kembali dan bisa memaa’fkanku. Ku tak bisa menghilangkan segala kenangan indahku saat-saat bersamanya. Hingga pada suatu hari datanglah seorang pria tua yang bertongkat dan berjenggot lebat di dagunya menghampiriku.
“Hei… anak muda” katanya sambil menepuk bahuku. Sontak aku kaget dengan tingkah yang dilakukan oleh pria tua itu yang tak kukenal tadi.         
“Maaf, Bapak siapa?” tanyaku.
“Kamu tidak perlu tahu siapa saya” jawabnya lirih.
“Terus maksud Bapak menepuk bahuku apa?” tanyaku serius.
“Anak muda… anak muda, saya tahu kamu mencintai hantu?”
 “Hehh… orang tua! hati-hati kalo ngomong ya, kau pikir aku sudah begok apa mencintai makhluk halus seperti itu? dengan spontan aku memarahi orang tua itu.
“Saya tahu kalau kamu hendak marah, tapi beginilah kenyataannya” sambil mengelus-elus jenggotnya yang menjuntai itu.    
“Hebat benar” begitulah pikirku  
“Saya tidak begitu hebat, saya hanyalah seorang manusia biasa”
“Siapa orang ini sebenarnya? mengapa dia tahu apa yang hendak aku bicarakan” kataku dalam hati.
“Sudah saya bilang, saya hanya manusia biasa sama seperti kamu”.
“Lantas, maksud Bapak apa?” tanyaku.
“Perlu kamu ketahui anak muda, sebenarnya wanita yang kamu cintai itu sudah meninggal gantung diri tiga tahun yang lalu di sebuah rumah tak berpenghuni sebelah Hotel Utami itu akibat frustasi di tinggal oleh pacarnya” disaat Rini tewas di gantungan, sempat ada seseorang yang sengaja memotong jari kelingkingnya, konon sih untuk di jadikan semacam persyaratan meminta kekayaan karena dengan jari kelingking wanita yang mati perawan akan cepat terkabul permintaanya itu” aku hanya mengangguk, dan sedih mendengar penuturan dari orang tua itu. “Sekarang kalau kamu ingin menangis, menangislah sepuas hatimu, sebab mungkin setelah ini kamu takkan lagi menemuinya. Karena rumah itu telah dibongkar mau ditempati orang dan para pekerja rumah itu sebelumnya sempat menemukan jari kelingking yang dikubur dibawah tanah salah satu kamar rumah itu yang tak lain adalah kamar Rini. Dan akhirnya pelaku terpotongnya jari Rini sudah ditemukan dan diringkus di penjara sedang jari kelingkingnya pun sudah disatukan di kuburannya. Tak terasa air mataku berlinang dari pelupuk kelopak mataku.
“Bapak, kalau boleh tau dimana kuburannya Rini sekarang?”.
“Sebentar dulu” jawabnya, sambil mengambil secarik kertas yang berisikan alamat kuburannya di kantong bajunya yang sudah mulai lusuh dan diberikan kepada Alan.
“Terimakasih pak, semoga Rini sekarang bisa tenang di alamnya”. 
“Amin…” harapnya “nak, sebaiknya kamu pulang, semuanya telah berakhir, dan kamu sudah tau bahwa Rini telah meninggal” Lalu Pria tua itupun pergi meninggalkan Alan setelah memberikan alamat kuburannya Rini.       
            Keesokan harinya, sebelum aku pulang, aku menyempatkan diri mampir sejenak ke pemakaman Yayasan Lebbaq tempat dimana mayat Rini disemayamkan. Kupanjatkan do’a disana semoga arwahnya bisa tenang di alam baka. Selamat tinggal Rin, suatu saat nanti aku pasti akan datang kembali kesini dimana cintakku untukmu tetap ada meski kau telah tiada.        

Ahmad Fathoni Fauzan, kini aktif di lesehan Sastra Kutub Yogyakarta sekaligus Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS