TAUBATKU


Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan

Diam-diam Qamar bergumam,”kemana ya si Jamal, jam segini kok masih belum pulang?”
            Dengan langkah gontai, Fitri menanggapi ucapan suaminya, “yaa…mungkin masih ada di jalan, maklum anak muda jaman sekarang kerjaanya suka ngeluyur terus.”
            “Sudahhlah Pak… Jamal kan sudah dewasa, nggak perlu banyak diawasi. Mendingan kita shalat maghrib dulu.”
            Senja itu suasana hening. Hanya angin semilir yang bergerak kesana-kemari. Suara gesekan sandal Jamal yang baru kembali keperaduannya. 
            “Assalamu’alaikum Warahmatullah” Qamar mengucap salam tanda shalat mereka sudah berakhir. Mendengar suara sandal, Qamar bergumam kepada Fitri, isterinya tercinta.
            “Jamal sudah pulang. Darimana tuh anak?”
            Pada waktu itu, Jamal masih merebahkan badannya untuk melepas lelah. Dengan langkah terseret, Qamar dan Fitri mendekati kamar anaknya.
            “Mal, darimana kamu? Jam segini kok baru pulang?” Mendengar kata-kata bapak nya itu, Jamal jadi terkejut refleks bangkit dari tidurnya.
            “Ehhh… Bapak  bikin kaget aja.”
            “Ayo jawab darimana kamu?!”
            “Yaah…Bapak ! Kayak nggak tahu anak muda saja. Ya dari jalan-jalan dong, Pak.”
            “Hei, Jamal! Kamu ini  sudah dewasa, dan sudah wajib melaksanakan shalat. Asal kamu tahu waktu, Bapak  nggak akan ngelarang kamu jalan.”
            “Jamal kan sudah tahu, Pak”
            “Tahu dengkulmu! Kok jam segini masih santai ditempat tidur? Ayo cepat ambil wudhu’ dan shalat sudah hampir isya.” Perlahan Qamar menggertak Jamal yang sudah mulai melawan. Namun dengan nada mencemo’oh, Jamal menjawab, “santai dulu dong, Pak, waktu shalat kan masih banyak, lagian masak Bapak  nggak kasihan sama aku yang baru datang dari perjalanan.” Dengan sangat geram Qamar menghardik Jamal, “Jamal…! Rupanya ini ya hasilnya ngeluyur kesana-kemari, sudah mulai lupa ibadah dan sudah berani melawan orangtua.!”
            Jamal mulai geram dan berdiri sembari membalas hardikan Bapaknya. “Ooo…rupanya bapak  sudah nggak menyangi aku lagi?! kalau begitu, lebih baik aku hengkang dari rumah ini, daripada harus mendengar hardikan bapak  terus-menerus!”
            “Apa! Apa katamu? Baik, kalau memang itu maumu. Pergilah dan jangan pernah kembali ke tempat ini, aku sudah muak melihat kelakuanmu, Pergi…pergi!” Qamar berteriak sembari meneteskan air mata didampingi Fitri yang hanya termangu menyaksikan sang buah hati yang telah berani mengiris hati Ayah-Ibunya. Namun Jamal tak menghiraukan lagi ratapan kedua orangtuanya dan terus melangkah meninggalkan mereka.
            Dentang suara bel telah menunjukkan Jam 01.00 malam. Namum, Jamal tetap berhura-hura bersama anak jalanan lainnya tanpa terbesit rasa bersalah sedikitpun di sanubarinya.
            “Hai…Mal! Ngapain kamu lama-lama disini? Pulanglah, kasihan Bokap ma Nyokap lo di rumah, haha…ha…”
            Suara anak jalanan pun mulai menyeruak di seantero markas mereka seraya memperolok-olok Jamal. Mulanya Jamal tak menghiraukan olok-olokan temannya itu. Namun lama-kelamaan Jamal mulai dongkol juga dengan pola-tingkah teman-temannya itu. “Hei…! elo semua tahu nggak? Gue ini diusir sama Bokap tak tahu diri itu” ujar Jamal keras.
            “Hah…disuir!? Haha…haha… kacian deh elo Mal, masih muda udah ngerasain usiran orangtua.”
            “Emangnya kenapa? daripada gue terkekang oleh ortuku disuruh ini kek, disuru itu, harus begini dan jangan begitu. Aaaah… pusing deh. Mendingan gue gabung sama elo-elo pada. Aku ngerasa bebas dan jadi bisa terhibur. Betul nggak?.”
            “Ya…betul juga, tapi masak kamu nggak kasihan sama ortumu?”
            “Kasihan sih Kasihan, tapi kalau mereka udah nggak akung ma gue lagi, ngapain juga aku betah-betah dirumah?.”
***
            Sudah setengah bulan Jamal hengkang dari rumahnya, tak ada kabar berita pada sang Ibu.  Dengan nada sedih Fitri berkata, “Pak…! Mengapa kamu tega mengusir Jamal, anak kita satu-satunya, Pak? Mengapa kamu usir dia yang sampai saat ini belum pulang juga.”
            “Alaah… ibu ini terlalu memanjakan anak. Seperti itulah jadinya kalau anak selalu di manja, nggak mau patuh dan bahkan berani pada orangtua.
            “Dia kan masih anak kita, Pak. Kasihan dia, lagi pula banyak cara lain untuk membuatnya dia jera.”
            “Aahh… sudah-sudah! jangan di ingat-ingat lagi anak itu, biarkan saja dia mau kemana, anak tak tahu di untung. Dikasihani malah makan hati. Sudah tidur saja sana sudah malam!.
            “Biarlah Bapak  tidur duluan, aku masih belum ngantuk”.
            “Yaa… sudah aku tidur duluan, jangan lupa kunci pintunya”.
            Dalam kesendiriannya, Fitri meratapi kesepian Jamal dan menyesali mengapa dia dulu tidak melarang Jamal untuk minggat. Maka ditengah malam yang sangat sunyi dan tenang itu, Fitri melangkah menuju tempat ibadahnya sembari melaksanakan shalat Tahajjud. Ada ketenangan yang mengalir pada jiwa Fitri.
            “Assalamu’alaikun Warahmatullah” Fitri mengakhiri shalatnya seraya diikuti dengan do’a untuk anak tercintanya.
            “Ya Rahman ya rahiem… hanya Kaulah yang dapat memberi hidayah kepada putra hamba. Ya Allah, semoga Kau memberi keselamatan kepadanya dan semoga Kau melindunginya. Walhamdulillahi robbil’alamin”.
            Dalam kesunyian  malam, Jamal berkelana tanpa tersirat sebuah tujuan spercik pun dibenaknya. Jamal tak merasa bersalah dan berdosa atas apa yang dilakukannya, ia telah lupa terhadap Ayah-Ibunya. Namum ketika Jamal tiba disuatu tempat, jiwa Jamal terasa tersiram oleh siraman  embun yang begitu menyejukkan lantaran kesunyian telah terpecahkan oleh lantunan ayat suci Al-qur’an. Seketika Jiwa Jamal bergetar seakan semua perbuatan dosanya menuntut pertanggungjawaban. Dengan langkah penuh dengan tanda tanya, Jamal menelusuri semak-semak untuk mencari sumber bunyi hingga pada akhirnya Jamal menemukan sumber lantunan ayat suci itu. Dengan begitu kencang, Jamal memasuki sebuah masjid yang dikelilingi oleh kamar-kamar ukuran kecil yang biasanya menjadi asrama para Santri. Dengan digerogiti rasa grogi, Jamal berucap salam “Assalamu’alaikum”.
            Namun, dari saking khusuknya pemuda itu tak mendengar suara Jamal. Jamal mengulangi Salamnya tiga kali hingga akhirnya pemuda itu mendengar terhadap suara Jamal. “Shadaqallahul adhim”.  
            Pemuda itu mengakhiri bacaannya. “Wa’alaikum salam” pemuda itu menjawab sembari menyalami Jamal dengan penuh persahabatan dan mempersilakan Jamal untuk duduk. Lalu pemuda itu memulai pembicaraan. “Namaku Zaini, kalau adik siapa?” grogi, Jamal menjawab “aku Jamal dari desa Ambunten”.
            “Lantas tujuan adik kemana kok larut malam seperti ini ada disini?” dengan suara gemetar Jamal menanggapi “aku mencari ketenangan kak, aku minta tolong berikanlah aku ketenangan seperti layaknya kakak”.
            “Dari raut wajahmu aku bisa membaca perasaanmu, kau sedang dirundung permasalahan. Kalau boleh aku tahu apa permasalahanmu mungkin kakak bisa membantu?”. Suara Zaini seakan memberi ketenangan kepada Jamal dan dengan suara terbata-bata, Jamal mulai bercerita dari awal dia bertengkar dengan Ayahnya sampai dia minggat.
            “Sebenarnya kau telah menuruti hawa nafsumu dan telah diperbudak oleh setan sehingga kau tega menyakiti hati kedua orangtuamu yang telah melahirkanmu dan telah berkorban mati-matian demi kamu, tapi kenyataannya kau balas dengan menyakiti hati mereka”.
            “Sebenarnya aku menyesal atas perbuatan itu kak, tapi apakah taubatku akan diterima oleh Allah?”
            “Seperti apapun dosa sang hamba kalau dia mau bertaubat dengan sungguh, niscaya Allah akan memberi ampunan”.
            “Terimakasih kak atas pemberian mau’idzahnya kepada aku, untuk bisa menjadi orang yang lebih baik”.
            “Oh…nggak apa-apa itu merupakan kewajiban kami memberitahu orang yang sedang lupa”.
            “Baik kak… aku akan coba mengabdi dan mencari kehidupan yang lebih baik”. Kemudian dengan serta-merta Jamal dibawa ke kamar mandi dan setelah itu shalat thajjud. Ada ketenangan yang tercermin di wajah Jamal, seakan dia telah menemukan kehidupan baru yang lebih bahagia.
***
            Mentari sudah mulai menyongsong di ufuk timur, kicauan burung-burung menghiasi rona-rona pagi yang begitu cerah, disamping itu sudah genap satu bulan Jamal minggat dari rumah dan sudah setengah bulan Jamal bergaul dengan dengan teman-temannya. Kini ia telah menemukan jati dirinya sebagai manusia.
            Sementara itu, tergambar rasa rindu yang tersirat pada raut wajah Fitri, seakan ingin cepat-cepat menemui Jamal dan mengampuni semua kesalahan-kesalahannya. “Jamal, mengapa kau tak pulang saja, nak…? Membantu ibumu dirumah, sepi rasanya rumah ini kalau kau tinggalkan…”. Bisiknya dalam hati.
            “Ada apa, Bu…? Pagi-pagi kok sudah melamun”. Suara Qamar  membuyarkan lamunan Fitri, kemudian menanggapinya.
            “Ini Pak, aku sudah terlalu rindu pada Jamal. Kapan ya Pak, Jamal akan pulang?”
            “Sudahlah Bu…! Jangan terlalu dipikirkan kalau sudah sadar akan kesalahannya pasti dia akan kembali”.
            Sejenak suasana mulai hening ketika perbincangan mereka sudah habis, hanya suara sedotan kopi Qamar memecah keheningan. Namun keheningan itu pecah manakala sebuah mobil Avanza melintasi depan rumah mereka “Pak, pagi-pagi begini kok sudah ada mobil lewat di depan rumah kita, jangan-jangan Jamal sudah pulang” Fitri berandai.
            “Mana mungkin Bu… kalau itu memang Jamal pastinya tadi berhenti”.
            “Ia ya…!”. Kembali hening menyelingkupi mereka. Namun keheningan mulai terpecahkan kembali tatkala mobil Avanza yang tadinya lewat kini berhenti pas di depan rumah mereka.
            “Lho… mobil itu kok berhenti didepan rumah kita, jangan-jangan Jamal Pak”
            “Masak iya sih bu, Jamal Pake’ mobil sebagus itu…? Ayo coba kesana, barangkali ada yang dapat kita bantu”.
            “Ayo Pak”.
            Namun sebelum mereka sempat keluar rumah untuk menghampiri mobil itu Ustadz Zaini sudah duluan ada di depan pintu rumah mengucapkan salam.  “Assalamu’alaikun”.
            “Wa’alaikumussalam. Mari silakan masuk dik”. Qamar mempersilakan kemudian memulai pembicaraan, “ada perlu sama siapa ya dik, mungkin kami dapat membantu?”.
            Perlahan Zaini mulai angkat bicara “begini Pak. Saya dari Pondok Pesantren desa sebelah ingin mengantarkan teman yang katanya ingin bertemu dengan Bapak  dan Ibu”.
            Dengan keheranan mereka bertanya, “teman, siapa yaa…?”.
            “Tunggu sebentar Pak, Bu, akan saya panggil”.
            Dengan langkah pasti Zaini menuju mobil Avanza dan mengajak Jamal menemui orangtuanya. Rasa grogi, malu dan berdosa menggerogoti jiwa Jamal untuk berucap salam pada sang Ibu, namun dengan Pakaian ala Pesantren Jamal mencoba memberanikan diri untuk berucap salam dan mencium kedua telapak tangan orangtuanya. Dengan didampingi Zaini, Jamal terus melangkah dan “Assalamu’alaikum”, begitu terkejutnya Qamar dan Fitri ketika melihat anaknya yang sudah lama pergi, kini kembali.
            “Jamal…?!”
            “Betul Pak, ini Jamal anak Bapak ”
            Perlahan Jamal berjalan menyalami Bapak  dan Ibunya, seraya meminta ma’af atas dosa-dosanya yang telah dan sering ia lakukan pada kedua orangtuanya dulu. Air mata kebahagiaan pun mengalir deras dari kelopak mata mereka bertiga serta diikuti oleh senyuman Zaini yang juga ikut bahagia atas  perjumpaan mereka. Ucapan syukur pun mengalun dari kedua bibir Ayah-Ibunya diikuti dengan ucapan terimakasih kepada Zaini yang telah menolong Jamal dari kesesatan. 
            Selang beberapa waktu Zaini pun kembali ke Pesantren dengan mobil Avanza-nya. Dan keesokan harinya Jamal di mondokkan ke Pesantren itu, meneruskan perjalanannya mencari ilmu dan memperdalam ilmu agama yang lebih sempurna.

 Yogyakarta, 11 Januari 2012

Ahmad Fathoni Fauzan, lahir 18 Agustus 1993 di Sumenep, Madura. Kini aktif di lesehan Sastra Kutub Yogyakarta sekaligus Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "TAUBATKU"

Posting Komentar