Cerpen Ahmad
Fathoni Fauzan
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke Madura
yang hampir memakan waktu tiga hari, aku tiba juga
di pantai Slopeng. Ya, hari ini aku memang sengaja melawatkan waktu liburan
panjangku untuk berefreshing sejenak di Pantai Slopeng, sebuah pantai yang
terletak di paling ujung barat pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep.
Pantai ini amat elok nan eksotik, selain banyak terdapat pepohonan kelapa yang
tinggi menjulang, juga terdapat berbagai macam kuliner laut. Sebenarnya ini
adalah kali kedua bagiku mengunjungi pantai ini. Sebelumnya sekitar tiga tahun
yang lalu, tepatnya ketika aku masih duduk di bangku SMP dalam rangka kegiatan
jelajah alam aku pernah datang kesini bersama teman sekelasku.
Dikala itu aku duduk di tepi pantai dimana banyak pohon-pohon kelapa dengan
daunnya yang menari-nari di tiup semilirnya angin. Suara gemuruh ombak menyanyikan
simfoni kehidupan, sedang burung-burung camar mengudara sambil mengalunkan
senandung melodi yang tak kumengerti bahasanya namun kupahami maksudnya. Hal
ini tidak pernah kutemui di tempat lain Kota misalnya, atau gunung. Karena aku
tidak begitu suka melakukan penjelajahan gunung. Sementara sang surya
perlahan-lahan mulai tenggelam di ufuk barat. Seperti biasa setiap kali aku
pergi ke pantai, aku selalu memesan sebuah penginapan yang tak jauh lokasinya
dari pantai.
***
Malam harinya, aku berjalan di tepi pantai, karena aku ingin merasakan
hembusan angin malam dan suara gemuruh ombak yang seolah-olah memanggil namaku.
Mungkin dengan cara inilah aku bisa menghilangkan rasa penatku. Secara tidak
sengaja kuamati dari kejauhan sesosok wanita mungil nan cantik sedang bermain
air berkecipak-kecipuk ditepian pantai. “Ah… siapa itu?” begitulah pekikku.
“Mungkinkah dia adalah sesosok makhluk halus penunggu pantai ini yang sedang
kesepian ditinggal teman atau pacarnya?”. Dengan keyakinan dan langkah yang tak
pasti aku mencoba untuk memberanikan diri mendekatinya.
“Ehem… ma’af mba’ sudah malam gini
kenapa masih sendirian disini? Apa nggak takut?”
“Ah, nggak kok, biasalah sedang
mencari keong”
“mencari keong kok malam-malam, gak
takut ya dijepit kepiting, takutnya bukan keong yang dapat, malah kepiting.
Boro-boro kepiting kalo dapatnya ikan hiu yang terdampar gimana? bukannya lebih
enak mencari siang hari?”. Dengan pertanyaan yang seakan-akan gombal, wanita
itu lantas hanya tersenyum manis padaku.
“Oh ia, kenalkan namaku Alan
Adinata, tapi aku lebih sering dipanggil Bolang, karena aku sering menjelajah
kemana-mana, dimana kakiku berpijak, maka disitulah aku ada”. Candaku.
“Namaku Rini” jawabnya singkat.
Tak terasa malampun sudah larut aku hendak kembali ke tempat penginapanku.
Dan dia bergegas pergi meninggalkanku entah kemana yang ia tuju.
***
Matahari baru saja bangun dari tidurnya, seiring suara bunyi ayam yang
berteriak membangunkan jiwa-jiwa yang terlelap, menandakan pagi telah datang.
Sebagian orang mungkin masih terbuai dengan alam mimpinya, dan mungkin sebagian
lagi telah tersadar dari mimpi semunya. Mungkin aku termasuk pada pilihan
kedua. Seusai mandi, seperti biasa aku tidak mungkin melewatkan waktuku untuk
bersenam dan lari pagi. Saat itu aku bertemu dengan Rini yang sedang bermain
air ditepian pantai. Hai…!” sapaku. Lagi-lagi dia hanya melontarkan senyuman
manisnya. Aku mencoba kembali berbicara dengannya, karena semalam aku tidak
sempat ngobrol panjang lebar sama dia. Kemudian Rini dan aku duduk di tepian
pantai, tepatnya di atas sebuah pohon kelapa yang tumbang akibat diterjang
ombak.
“Ngomong-ngomong teman-temanmu pada
kemana?, kamu cewek yang semalam itu kan?” tanyaku heran, karena masih
penasaran siapa sebenarnya gadis ini.
“Iya, kamu cowok yang semalam itu
kan?” sahutnya.
“Rini, kamu masih belum jawab
pertanyaanku”
“Pertanyaan yang mana?” jawabnya
dengan nada yang sedikit menggoda.
“Teman-temanmu, apa kamu nggak
takut tersesat dan kesepian menyendiri?”
“aku tinggal disini kok, tuh disana
rumahku” sambil menunjukkan tangannya kearah
rumah yang mulai nampak kusam dan ditumbuhi semak belukar disekelilingnya,
kebetulan rumahnya disamping Hotel Utami, salah satu hotel yang berada
di pantai itu. Tak terasa matahari mulai menyengat tubuh kami bedua. Rupa-rupanya
perutku tidak bisa diajak kompromi lagi.
“Rin, kamu udah makan belum? aku
sudah lapar nih”
“Belum, aku juga lapar, perutku
sudah mulai keroncongan dari tadi” tuturnya. Aku mengajak Rini makan bersama di
Hotel Utami. Dengan senang hati dia tidak menolak ajakanku. Sesampainya disana
sang pelayan menghampiriku dan bertanya kepadaku.
“Mau pesan apa Mas?” tanya pelayan,
sambil menyodorkan daftar menu makanan di mejaku.
“Dua porsi nasi goreng dan ikan
bakar yang masih segar satu ya. Mas! sekalian sama es kelapanya dua”.
“Ma’af! yang satunya lagi buat
siapa ya mas?” tanyanya heran.
“Emmm… buat teman saya”
“perasaan dari tadi saya tidak
melihat siapapun selain Mas sendiri disini”. Kebetulan pada saat itu tempat
makan Hotel Utami yang ditempati Alan lagi sepi pengunjung, dan sunyi. Kemudian
sang Pelayan itu pergi berlalu meninggalkanku.
“Aneh…!” aku mengernyitkan dahi,
Rini menghilang dari pandanganku. “Ah, mungkin dia sedang ke WC” pikirku.
Tak lama kemudian tiba-tiba Rini duduk berhadap-hadapan denganku. Sementara
sambil menunggu hidangan datang aku ngobrol-ngobrol dengan Rini.
“Rin, tak terasa telah seminggu
lamanya aku berada di pantai sini. Dan selama itu pulalah aku mengenalmu, aku
tidak ingin membohongi perasaanku ini, sepertinya ada gejolak jiwa yang tak
sanggup lagi kubendung, kalau aku boleh berterus terang aku benar-benar
mencintaimu. Rin, maukah kamu menjadi kekasihku?” Pintaku.
“Ma’af Bo, aku tidak bisa
memberikan jawaban itu sekarang, sebab…” dia terhenti sejenak.
“Sebab apa, kamu diputus oleh
pacarmu?” buru aku meneruskan perkataan Rini yang tak sempat
diteruskannya itu.
“Iya, seperti itulah” kelihatannya
dia nampak amat sedih dikala mengingat masa lalunya karena ditinggal seorang
pria yang sangat ia cintai.
“Rini, takkan pernah ada yang mampu
menandingi kekuatan cinta yang telah aku berikan kepadamu, tak pernahkah kau
melihat riak ombak di lautan nan jauh disana, yang mampu menerpa bebatuan
karang yang besar? Sebesar itulah cintaku kepadamu”. “Sekali lagi ku mohon kamu
mengerti Rin, Please!” ungkapku.
“Bukan seperti itu Bo, sebenarnya…”
dia menoleh pahit lalu kemudian buru-buru beranjak pergi berlalu
meninggalkanku. Aku tak menghiraukan sang pelayan memanggilku yang pada saat
itu sedang mengantarkan pesananku, aku berusaha mengejar Rini yang lari
meninggalkanku. Tapi usahaku nihil, tiba-tiba Rini menghilang.
“Ya Tuhan, apa omonganku salah
tadi?” kataku dalam hati dengan perasaan kecewa.
Sejak saat kejadian itulah aku tak lagi melihat Rini si tubuh mungil nan
cantik yang biasa selalu bermain air berkecipak-kecipuk detepian pantai. Setiap
hari aku hanya duduk termangu di pantai seperti orang yang kelihatan bodoh
dengan harap Rini kembali dan bisa memaa’fkanku. Ku tak bisa menghilangkan
segala kenangan indahku saat-saat bersamanya. Hingga pada suatu hari datanglah
seorang pria tua yang bertongkat dan berjenggot lebat di dagunya menghampiriku.
“Hei… anak muda” katanya sambil
menepuk bahuku. Sontak aku kaget dengan tingkah yang dilakukan oleh pria tua
itu yang tak kukenal tadi.
“Maaf, Bapak siapa?” tanyaku.
“Kamu tidak perlu tahu siapa saya”
jawabnya lirih.
“Terus maksud Bapak menepuk bahuku
apa?” tanyaku serius.
“Anak muda… anak muda, saya tahu
kamu mencintai hantu?”
“Hehh… orang tua! hati-hati
kalo ngomong ya, kau pikir aku sudah begok apa mencintai makhluk halus seperti
itu? dengan spontan aku memarahi orang tua itu.
“Saya tahu kalau kamu hendak marah,
tapi beginilah kenyataannya” sambil mengelus-elus jenggotnya yang menjuntai
itu.
“Hebat benar” begitulah
pikirku
“Saya tidak begitu hebat, saya
hanyalah seorang manusia biasa”
“Siapa orang ini sebenarnya?
mengapa dia tahu apa yang hendak aku bicarakan” kataku dalam hati.
“Sudah saya bilang, saya hanya
manusia biasa sama seperti kamu”.
“Lantas, maksud Bapak apa?” tanyaku.
“Perlu kamu ketahui anak muda,
sebenarnya wanita yang kamu cintai itu sudah meninggal gantung diri tiga tahun
yang lalu di sebuah rumah tak berpenghuni sebelah Hotel Utami itu akibat
frustasi di tinggal oleh pacarnya” disaat Rini tewas di gantungan, sempat ada
seseorang yang sengaja memotong jari kelingkingnya, konon sih untuk di jadikan
semacam persyaratan meminta kekayaan karena dengan jari kelingking wanita yang
mati perawan akan cepat terkabul permintaanya itu” aku hanya mengangguk, dan
sedih mendengar penuturan dari orang tua itu. “Sekarang kalau kamu ingin
menangis, menangislah sepuas hatimu, sebab mungkin setelah ini kamu takkan lagi
menemuinya. Karena rumah itu telah dibongkar mau ditempati orang dan para
pekerja rumah itu sebelumnya sempat menemukan jari kelingking yang dikubur
dibawah tanah salah satu kamar rumah itu yang tak lain adalah kamar Rini. Dan
akhirnya pelaku terpotongnya jari Rini sudah ditemukan dan diringkus di penjara
sedang jari kelingkingnya pun sudah disatukan di kuburannya. Tak terasa air
mataku berlinang dari pelupuk kelopak mataku.
“Bapak, kalau boleh tau dimana
kuburannya Rini sekarang?”.
“Sebentar dulu” jawabnya, sambil
mengambil secarik kertas yang berisikan alamat kuburannya di kantong bajunya
yang sudah mulai lusuh dan diberikan kepada Alan.
“Terimakasih pak, semoga Rini
sekarang bisa tenang di alamnya”.
“Amin…” harapnya “nak, sebaiknya
kamu pulang, semuanya telah berakhir, dan kamu sudah tau bahwa Rini telah
meninggal” Lalu Pria tua itupun pergi meninggalkan Alan setelah memberikan
alamat kuburannya Rini.
Keesokan harinya, sebelum aku pulang, aku menyempatkan diri mampir sejenak ke
pemakaman Yayasan Lebbaq tempat dimana mayat Rini disemayamkan. Kupanjatkan
do’a disana semoga arwahnya bisa tenang di alam baka. Selamat tinggal Rin,
suatu saat nanti aku pasti akan datang kembali kesini dimana cintakku untukmu
tetap ada meski kau telah tiada.
Ahmad Fathoni Fauzan, kini aktif di lesehan Sastra Kutub Yogyakarta
sekaligus Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 Response to "RINI SI GADIS MISTERIUS"
Posting Komentar