LELAKI TUA DAN BEETHOVEN

          Bulan Juni yang dingin. Malam yang menjemukan. Kuambil mantel yang tergeletak pasrah diatas meja dan kuputuskan untuk keluar dari Motel,salah satu Hotel di Bandung. Kulangkahkan kaki menelusuri jalan trotoar. Udara kota Bandungkala itu begitu menusuk, merasuk dalam tubuh setiap insan. Jalanan mulai nampak sepi, hanya suara petir yang menggelegar disertai lebatnya hujan yang terdengar di seantero kota Bandung. Aku terus melangkahkan kakiku.
Hidungku nampak memerah, lantaran menghirup udara yang dingin
Sesampainya di persimpangan jalan, langkahku terhenti. Kuputuskan untuk masuk ke Cafe yang berada dipinggir persimpangan jalan itu. Sebuah Cafe yang eksotis, dengan sajian hidangan yang istemewa, membuat pengunjung betah berlama-lama nangkring di Cafe itu. 
            Aku duduk di kursi deretan terdepan. Kemudian seorang pelayan datang menghampiriku.
            “Selamat malam, Tuan. Mau pesan apa?” Dia menyodorkan daftar menu ke mejaku.Dan aku memesan secangkir kopi susu hangat, dengan kentang goreng barbeque.
“Baik, tunggu sebentar, Tuan, pesanan akan segera datang” Pelayan itu bergegas pergi meninggalkanku. Tak lama kemudian pelayan itu kembali menghampiriku dengan membawa pesananku.
“Selamat menikmati, Tuan”ucapnya, sambil tersenyum.
“Terimakasih...!” Sahutku singkat.
Tiba-tiba pandangan mataku langsung tersorot pada seseorang,seorang lelaki tuayang sedang duduk di atas platform sembari memainkan Piano bergaya instrumental, Beethoven, Für Elise. Alunan melodi yang dimainkannya membuat para pengunjung terhenyak dan terpukau.
Sambil mendengarkan alunan musik, perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit kunikmati minuman serta camilan yang tersaji di atas mejaku,hingga tak tersisa.
Musik yang merdu. Namun dari merdunya alunan musik itu, aku dapat menerka jika lelaki tua itu sedang dilanda kesedihan yang mengakar dalam hidupnya. Sehingga dia memainkaninstrument, Beethoven, Für Elise. Intsrument sedih, menyentuh hati, yang terkadang juga menyayat.
Lelaki tua itu seolah menggali lagi luka lama hidupnyayang tersimpan di ceruk hatinya yang terdalam. Aku pun ikut larut dalam nada-nada yang dimainkannya. Sepatah kata pun tak dapat aku rapalkan. Aku hanya bisa tertegun sedih mendegarnya. Tak terasa aku mulai menitikkan air mata, buliran-buliran bening membasahi pipi mengalir-menganak sungai.
Tak seperti biasanya, Cafe tampak sepi malam itu. Hanya beberapa pengunjung saja yang datang. Banyak kursi yang masih kosong, tak berpenghuni. Kulihat seorang wanita tengah duduk manis didepanku. Dia masih muda dan cantik. Rambutnya yang hitam pekat dibiarkannya terjuntaihingga punggung. Diperhatikannya dengan penuh keseriusan lelaki tua yang sedang memainkan piano itu di depannya. Dia tampak menghayati nada-nada yang dimainkannya. Sebotol bir Chivas Regal berdiri tegak diatas meja. Kemudian dia meraihnya lalu diteguk sedikit demi-sedikit, lalu diletakkannya kembali ke tempat semula. Dan dia masih menghayati permainan lelaki tua itu.
Di meja tengah, tampak sepasang orang tua duduk berhadapan. Mereka sedang dilanda perasaan bahagia yang teramat-sangat. Mungkin mereka sedang merayakan hari jadinya yang ketiga puluh. Ya, mereka sedang bernostalgia masa bercintanya dulu, diwaktu masih bujang. Di Cafe ini tiga puluh tahun yang lalu adalah kali pertama mereka merajut asmara. Tepat pada hari ini. Kali ini aku tak tahu judul lagu apa yang dimainkannya.
Lagu pertama telah habis. Riuh tepukan tangan pengunjung Cafe pun menyambutnya, meski hanya segelintir tepuk tangan saja.Lelaki tua itu terdiam sejenak, kemudian dia mengambil sebotol bir Vodka diatas meja piano dan menuangkannya kedalam gelas lalu menenggaknya hingga tak tersisa. Gelas itu diletakkan kembali ke tempat semula. Tak lama kemudian dia memainkan pianonya lagi.
Mataku masih tertuju memperhatikan setiap gerak-geriknya.Sesaat aku melempar pandangan ke sekelilingku, lalu kemudian ke tujuan semula.
Sudah berbatang-batang rokok aku habiskan, tapi rasanya mulut ini masih sepat, belumpuas juga. Sama seperti mata ini yang belum lelahmemandang lelaki tua itu. Lelaki dengan raut wajah yang penuh dengan kesedihan.
Selang beberapa menit, lelaki itu menghentikan permainannya.Tepuk tangan orang-orang yang ada di Cafe itu pun riuh kembali. Tetapi hanya sebentar saja, lalu mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Laki-laki tua itu beranjak dari bangku pianonya. Langkahnya agak sedikit gontai. Tiba-tiba pasang sorot matanya tertuju padaku, kemudian dia menghampiriku dan duduk sampingku
“Hai, anak muda... kayaknya kamu bukan orang sini, aku baru pertama melihatmu disini?” tanyanya dengan logat yang agak sedikit Sunda itu.
“Ya, kenalkan, nama saya Fathir, saya Mahasiswa baru di salah satu kampus kota ini, Pak”jawabku, sembari mengulurkan tangganku, memperkenalkan diri.
“Oh, Rudi Darmawan, tapi aku biasa dipanggil Rudi.”
“Permainanmu luar biasa, Pak, aku sangat menghayatinya”
“Jangan memuji berlebihan seperti itu, hanya kebetulan saja yang dimainkan secara serius, Nak”
“Ya, seperti itulah kenyataannya, permainan Bapak memang bagus,” jawabku “kuamati Bapak memainkan Instrument elegi, bukan begitu?” Diaterdiam agak lama.
“Iya, memang,” dengan suara agak berat, Bapak itu mengiyakan. “Aku teringat pada istri dan anakku, ketika aku memainkan Instrument itu. Instrument itu seakan menjadi pengobat rasa rinduku kepada mereka.” Lelaki tua itu menundukkan kepala sejenak, kemudian dia menoleh ke arah meja pelayan.
“Bawakan aku sebotol bir Vodka ya...!” Teriaknya serak. Tak lama kemudian pelayan cantik itu membawakan pesanannya. Bir itupun ditenggaknya.
***
Namanya Maryamah, kami sudah lama menikah, empat puluh lima tahun yang lalu.Dia asli orang Bandung. Sedangkan aku orang pendatang. Aku memutuskan untuk kuliah disinisembari bekerja. Di Cafe inilah kita pertama kali bertemu, ditempat duduk yang kita duduki sekarang.   
Waktu itu dia sedang duduk termenung sendiri. Entah apa yang dipikirkannya. Dia mengenakan baju jumpsuitdengan tas warnamerah. Rambutnya dibiarkannya terjuntai sebatas punggung. Aku memperhatikannya dengan seksama. Sebenarnya aku merasa heran.
Kami berkenalan baru beberapa menit yang lalu, bahkan tidak lebih lama dibanding dengan umur kopi susu hangat dan berbeque yang kupesan. Namun sepertinya dia hendak menceritakan kisah hidupnya kepadaku tanpa merasa curiga. Tapi apa boleh buat, sepertinya kisahnya akan menarik.
“Lalu apa yang terjadi dengan isterimu sekarang?” Dia terdiam.Sambil mengambil se batang rokok yang tergeletak di atas mejaku, dia berucap, “bolehkah aku?” Belum sempat aku menjawabnya, kemudian dia melanjutkan kisahnya kepadaku.
Tiga puluh tahun yang lalu. Isteriku hendak pergi ke Bali untuk urusan bisnisnya. Siang itu, isteriku menelponku,yang pada waktu itu sedang berada di bandara. Entah kenapa dia ingin sekali menumpangi pesawat Sukhoi yang berkecepatan tinggi. Padahal pesawat itu baru perdana terbang di Indonesia. Ya, demi isteri tercintakuaku pun mengabulkan permintaannya dengan berat hati. Akhirnya isteriku menumpangi pesawat itu.
Tepat jam13.30. ada kabar bahwa pesawat Sukhoi mengalami kecelakaan. Dan pesawatnya masih belum diketemukan. Aku berharap isteriku akan selamat.


***Kumpulan Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

GADIS POHON BERINGIN


           Gadis itu masih juga sendiri, duduk mematung di bawah pohon beringin yang rimbun. Keadaan sekeliling memang sedikit aneh, tak jarang ada yang bicara sendiri sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ada yang berteriak histeris ketakutan, dan ada pula yang mengomel tak henti-henti, entah dengan siapa.

--o0o--
Senja telah berlalu, dan digantikan dengan malam. Matanya memindai lepas ke angkasa, seperti menanti kehadiran kerlip bintang, tapi tatapan itu kosong, mulutnya nampak bergumam seolah dia sedang bicara dengan seseorang, sembari tersenyum jemari-jemari lentiknya memainkan ujung-ujung rambut yang tergerai bebas tertiup angin senja.
Mata itu masih disitu, memindai ke angkasa tanpa reaksi nyata. Namun ada butiran bening membasahi di sudut matanya, mengalir menganak sungai. Namun tidak sedikitpun dia menyekanya, atau sesungukan layaknya orang biasa menangis.
Malam telah datang, menghadirkan bulan yang menyembul di beranda angkasa luas, bersama bintang-bintang gemerlap. Hanya kesunyian yang tercipta, hingga terdengar jelas senandung serangga malam. Dia masih disitu, kini terdengar lirih suaranya, melantunkan kidung kerinduan akan sesuatu untuk bisa dia dekap dalam hadir nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tak seorang pun yang bisa tahu akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya, saat harus kehilangan semua yang ia cintai.
Adakah puing-puing berserakan, bisa menjadi kesaksian yang nyata? Bisakah sang angin beritakan kejadian yang sesungguhnya, dan bisakah sang senja kala itu menaungi rasa takut yang mencekam diri dan saudara-saudaranya. Saat itu yang ada hanya pasrah dalam doa, entah hari ini atau lusa, dia atau keluarga yang lain, menjadi giiliran kebiadaban pembantaian para penjajah.
--o0o--
Sore itu, sekembalinya dari sekolah, belum sempat aku melepas seragam sekolah, dan melepas penat karena seharian berkutat dengan pelajaran. Tiba-tiba orangtuaku menyuruhku dan adik-adikku agar bersiap-siap, karena mereka harus pindah untuk sementara ke desa sebelah.
“Memangnya ada apa lagi pak?” Tanyaku penasaran, saat sehabis shalat Isya’ berjamaah, meski aku sudah menduga pasti ada penyerangan lagi yang akan terjadi di desa ini, seperti yang sudah-sudah. Kabarnya penduduk desa mendengar kalau akan ada penyerangan oleh penjajah ke desaku. Aku dan adik-adikku cuma bisa membayangkan kengerian pasti akan terjadi. Malam itu aku dan keluargaku berjaga-jaga agar tidak tidur terlampau pulas. Aku melihat ibu membelai kening si kecil, Jamilah, yang saat itu masih berumur enam tahun dan adikku Taufiq yang masih berusia sepuluh tahun.
Mataku tak bisa terkatup walaupun sejenak. Ayahku pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di raut wajahnya yang sudah termakan usia, namun masih nampak tegar meski terkadang sakit-sakitan. Sedang Ibu menatap kosong penuh kesedihan, seakan dia dapat merasakan kegelisahan dalam keluarga, apa yang akan terjadi nanti.
--o0o--
Saat pukul tiga pagi, aku beserta keluargaku masih terus berjaga-jaga. Sementara dari kejauhan terdengar sayup teriakan-teriakan warga desa.
“Ada penjajah datang! Ada penjajah datang!!” Suara teriakan warga menggelegar di seantero desa. Rasa takut kian mencekam, aku memeluk Taufiq, yang tengah duduk disampingku. Tanpa perlu di komando kami semua bersama warga berhamburan keluar rumah, ibu pun berlari sambil mengendong Jamilah, sementara Aisyah mengandeng Taufiq, kami bersama warga desa mencoba menyelamatkan diri sebisa mungkin. Karena warga, juga ayahku tidak menyangka kalau para penjajah itu akan datang secepat kilat.
Pemandangan yang saat tadi hening mencekam, kini kian menjadi riuh disebabkan teriakan dan lengkingan histeris para warga yang terkena sabitan senjata tajam, anak panah yang melesat, menerjang tanpa belas kasihan menghujam tubuh tak berdosa, serta peluru yang membabi buta. Kami mencoba berlari ke tempat yang kami rasa aman. Akhirnya aku dan keluargakku, juga warga bergegas berlari menuju masjid. Ternyata mereka masih mengejar, keluargaku serta para warga dapat menyaksikan dari celah-celah jendela bagaimana mereka membakar rumah-rumah kami, bagaimana mereka meledakkan bom-bom disekitar kami.
Bukan tanpa perlawanan kami lari, pemuda-pemuda desa pun dengan sekuat tenaga memberikan perlawanan. Tapi apalah kemampuan dari hanya sebilah golok dan bambu runcing. Tubuh-tubuh tak berdosa berserak-serakan di jalanan. Ada yang tertebas kepalanya hingga putus, dan ada pula yang terkena peluru hingga tertembus di kepalanya. Sekujur tubuh bersimbah darah, bau anyir, di lantai dan di pelataran sekitar dibanjiri dengan darah.
“Ya Tuhan… ada lagi korban yang jatuh tepat di depanku!” Ungkapku sedih. Mereka jatuh bersimbah darah seraya memegangi dadanya yang terkena tembakan, disini darah, disana pula darah dan erangan kesakitan. Lantas dimana ayah? Aku tak kuasa membendung air mataku, menyaksikan pemandangan yang memilukan, aku resah, aku bingung, karena sejak dari tadi aku tak melihat ayah.
“Ayah!! Ya Tuhan ternyata ayah telah terluka, terkena sabitan golok” aku memegang ayah yang bersimbah darah seraya menangis, “Ayah bertahanlah! Ayah pasti akan selamat!” ucapku resah.
“Aisyah jaga ibu dan adik-adikmu ya…!” Ucapnya lirih
“Ayah!!!” Aku dan adikku Taufiq, mencoba menguncang ayah agar bangun, namun usahaku nihil. Belum usai sedihku, tiba-tiba adikku Jamilah jatuh terbujur tepat juga dihadapanku, serta ibuku rebah bersimbah darah lantaran anak panah tertancap pada tubuh mereka.
--o0o--
Gadis itu masih juga sendiri duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Mata itu masih disitu,  menatap ke angkasa tanpa reaksi nyata.
Malam mulai menjemput, menghadirkan bulan, sementara aku? sedih sepanjang hari, aku teramat sangat merasa kehilangan tanpa bisa kuberteriak lagi, aku rindukan mereka menjemputku juga, menjemput kepelukan mereka hingga waktu tiba. Satu yang tersisa yang aku punya, Taufiq, juga pergi meninggalkanku, karena terserang penyakit yang mewabah di sekitar pengungsian.
“Selamat jalan Taufiq, ibu, ayah, Jamilah, aku juga ikut menjemput kalian”
Entah sampai kapan semua akan tertahan di relung dada, sesak jiwa bernafas walau sekedar menghirup udara.
Biarlah semua membisu, mematung di jejeran pemakaman, gugurkan bunga kemboja pada pusaran, basah sudah kuhempaskan jiwa. Menyeka perih jika ada yang tertinggal saat tertidur tadi.
Aku ingin semuanya usai, semuanya sirna, tanpa ada sayatan pisau di lubuk hatiku. Aku kehilangan jiwa dan angan kehidupan setelah aku di tinggalkan orang-orang yang aku cintai.
Aku ingin hari-hariku penuh ceria dan canda tawa, tiada mendung kesedihan di bola mataku.
Aku ingin membebaskan penat jiwaku, bersenandung kidung manja milik ibuku, kidung rindu milik ayahku dan kidung riang milik adik-adikku.
“Selamat jalan semua, aku ingin tidurku terpulas malam ini, tanpa harus terusik oleh siapa pun, aku ingin terbang bebas pergi menuju ke kayangan bersama para dewa-dewi, menata hari tanpa letih dan kepedihan. Biarkan aku tertidur pulas disini selamanya, menjemput mimpi saat kembalikan hidup tanpa sukma terjaga, bersama kerdil dan kebodohan yang tak bisa kutahan lagi, selamat malam mimpi, selamat tinggal kehidupan dan angan kepedihan, kusudahi hingga hari ini!”.
--o0o--
“Suster Eva! mana Aisyah? Kenapa dia belum juga ada di ruanganya?” Tanya suster Farah yang juga bertugas menjaga para pasien di rumah sakit jiwa, dimana Aisyah dirawat.
“Tadi dia ingin duduk-duduk di halaman samping, masak Aisyah belum juga masuk, sekarang kan sudah larut malam” Ujar suster Eva.
“Meski pikiranya agak terganggu, tapi Aisyah kan tidak biasanya seperti ini!” Suster Farah resah.
“Biar aku cari Aisyah” Jawab Suster Vina yang baru tiba dari ruang sebelah dan kebetulan mendengar percakapan mereka.
 “Ya ampun.. Aisyah..! Apa yang sudah terjadi dengan kamu?!” Suster Vina menemukan Aisyah sudah dalam keadaan tak bernyawa, menggantungkan diri tepat dibawah pohon beringin. Ternyata teriakan Suster Vina terdengar oleh yang lainya, hingga para petugas lain pun datang dengan penuh cemas dan tanya.
Ternyata Aisyah memang tidur terlelap untuk selamanya, menjemput kembali keluarganya, menjemput semua kenangan pedih untuk dilepaskan, meski jalan tertempuh salah, dengan seutas tali yang terikat dilehernya, menggantungkan diri di bawah pohon beringin.
Rembulan dan bintang kesaksian bisu yang takkan pernah berucap, meski tahu apa yang terjadi, serangga malam pun hanya bisa berkidung duka dengan nyanyian, malam kian merayap kelam di hempas arus kehidupan, menyudahi untuk agar mentari esok tetap bisa bersinar kembali.

***Kumpulan Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan***


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

CINTA DAN PERSAHABATAN

Sepi kini menemaniku, temanku kini hanyalah bulan dan bintang yang kesepian. Aku menyesal, mengapa penyesalan selalu datang terlambat? Andai saja dulu aku tak mengambil tindakan konyol itu, mungkin malam ini aku sedang bercengkrama dan bercanda dengan semua temanku, tidak seperti malam ini, dan mungkin yang akan seterusnya kulalui, sepi tanpa canda tawa teman-temanku yang aku rindukan.
Awal dari semua masalah ini adalah diwaktu aku dikenalkan oleh seorang pria kenalan sahabatku, pertama aku di kenalkan lewat sebuah pesan singkat. Setelah beberapa hari berlanjut hubunganku dengan pria itu tapi hanya lewat sms.
Pada suatu hari, ketika aku menjalani malam bersama teman-temanku, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara motor menuju ke arah kami, beberapa motor dan pria yang mengendarainya mendatangi kami. Seperti biasa, karena aku orang baru di mata para pria itu aku dikenalkan dengan pria itu satu persatu, ketika sampai pada pria terakhir aku begitu terkejut ketika ia menyebutkan namanya “EGA”, serasa tak percaya malam itu aku bertemu, bertatap muka bahkan berjabat tangan langsung dengan seseorang yang selama ini menurutku hanya akan menjadi temanku di dunia sms, orang yang sebenarnya tidak mau kutemui. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa saat itu, aku hanya menyambut uluran tangannya dan akhirnya kami saling bertukar nama. Pada malam itu pertama kali aku bertemu dengannya, aku bingung sesaat setelah ku berkenalan dengannya serasa ada sesuatu yang menggangguku, aku terus mencari tau apa sebenarnya yang sedang terjadi padaku, setelah beberapa saat aku tersesat di dalam kebingunganku akhirnya aku menemukan jawabannya. Ya……!!! Ternyata dia begitu serupa dengan mantan kekasihku yang sampai saat ini tak dapat aku lupakan, dan mungkin jika aku dapat bertemu dia lagi dan menjalani kehidupanku seperti dahulu, mungkin aku tak akan berpisah dengannya sampai saat ini atau mungkin sampai maut yang memisahkan kami berdua. Aku banyak bertanya pada salah satu temanku tentang sifat dan kehidupannya. Ya Tuhan setelah aku mendapat informasi dari temannku semua tentangnya, aku terkejut karena betapa banyak kemiripan dia dengan kekasihku itu. Hubungan kami tetap berlanjut setelah perkenalan itu. Suatu malam aku merasa gusar hatiku tak tenang, di dalam benakku selalu terlintas wajahnya saat perkenalan itu, suaranya selalu terngiang di telingaku, kata – kata yang ia kirim padaku lewat pesan singkat (sms) selalu ku baca berkali – kali, aku tak mengerti dengan perasaanku hatiku selalu berharap dapat bertemu dengannya, setiap waktu aku selalu berharap ada dering tanda sms masuk darinya. Tuhan apakah aku sudah pantas untuk jatuh cinta lagi?? Ya Tuhan apa aku sudah siap untuk sakit hati lagi?? Ya Tuhan…….jika dia memang pilihanMu untuk menemaniku maka dekatkan kami, tapi jika dia bukan yang terbaik bagiku maka hentikanlah semua benih cinta yang sedang tumbuh di hatiku ini. Hari demi hari berlalu dengan penuh siksa bagiku, semua ini menyiksaku karena aku belum cerita pada satupun temanku tentang perasaan ini. Suatu hari salah satu temanku bertanya tentang bagaimana perasaanku dengan pria itu, karena temanku yang satu ini rupanya menyadari kalau aku punya perasaan yang lebih pada pria itu. Akhirnya saat itu juga aku jujur pada temanku itu bahwa benar dugaannya padaku, aku sayang pada pria itu, tapi aku juga memintanya untuk jangan memberitahukan semua ini pada temanku yang lain. Tanpa ku tahu ternyata temanku memberi tahukan perasaanku pada pria itu, betapa terkejutnya aku ketika diberitahukan semua itu, rasanya aku tak mau mendengar kelanjutan cerita temanku, karena di dalam benakku sudah terbayang apa yang akan dikatakan olehnya, pasti dia mengangapku sebagai wanita yang !!!!!!. Setelah ku dengarkan kelanjutan cerita temanku untuk kedua kalinya aku dikejutkan, ternyata jawaban pria itu begitu bertolak belakang dengan apa yang ada dalam pikiranku. Hatiku begitu berbunga stelah kutau dia juga suka padaku, tapi rasa senang ini langsung ku tepis lagi agar tak begitu berlebihan, karena aku tak akan percaya begitu saja dengan cerita temanku, kecuali pria itu yang langsung mengatakannya padaku. Pucuk di cinta ulampun tiba, yah kata itulah yang mungkin terus ada di dalam benakku, setelah pria itu mengatakan langsung padaku bahwa ia benar sayang padaku, kalau ia takut kehilanganku. Tapi ada satu perkataannya yang sedikit membuatku sakit hati, karena ia sudah berbohong padaku dan temanku tentang pengakuannya pada temanku waktu itu, tapi tak apa karena semua rasa sakit itu telah hancur oleh beribu bunga – bunga cinta yang sedang tumbuh begitu subur dihatiku. Setelah semua kejadian itu sekarang pesan singkat yang kami saling kirim mendapat kata tambahan, sekarang kami tak saling menyebut nama, sekarang nama kami saling memanggil dengan panggilan sayang. Ya Tuhan apa lagi ini, mengapa aku menjadi orang yang begitu ceroboh, aku mungkin orang yang paling bodoh di dunia ini, mengapa aku tak menyadari dari dulu jika salah satu dari temanku begitu mencintai pria itu, bahkan mungkin cintanya lebih besar dari pada cintaku padanya. Setelah ku tahu semua itu aku lalu memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya, aku coba untuk melempar jauh – jauh semua perasaan ini. Biarlah aku kehilangan orang yang kucintai, dari pada aku harus kehilangan seorang sahabat yang terlebih dahulu menjadi teman hidupku. Biarlah bunga – bunga cinta yang sempat mekar dulu layu begitu saja, karena aku tak mau lagi memupuknya. Hubungan kamipun putus begitu saja tanpa penjelasan. Sebenarnya aku sangat merasa tersiksa dengan semua ini, lama – lama aku tak bisa lagi terus membohongi hatiku seperti ini, bahwa aku masih begitu sayang padanya, wajahnya, suaranya dan dengan kata – kata mesra yang selalu ia kirimi untukku. Tiga hari sudah kulalui dengan semua penderitaan ini. Aku tak tau bagaimana caraku memberi tahunya tentang perubahan sikapku ini. Siang tlah berganti malam. Ketika ku sedang melamun memikirkan semua tindakan fatal ini, menahan semua rasa riduku yang makin memuncak ini, dari dalam rumah ku mendengar suara telepon genggamku berdering. Yah aku bisa menebak siapa yang meu menelponku malam – malam seperti ini, benar saja dugaanku jika pria itulah yang menelponku, memang sejak pertama dia melihat perubahanku dia selalu menelponku, tapi tak pernah kuangkat, karena aku tau apa yang akan dia bicarakan. Setelah ku pikir aku tak bisa terus seperti ini, aku harus menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Akhirnya dengan penuh kesiapan sekaligus ketakutan, aku memberanikan diri untuk menjawab telpon darinya. Ketika suaranya terdengar, luluh sudah hatiku, suara yang selama ini begitu kurindukan kini terdengar lagi. Malam itu juga kujelaskan semua alas an mengapa ku menjauhinya, dan sekaligus memberitahunya jika aku tak bisa hidup tanpanya. Setelah mendengar semua penjelasanku dia terdiam, sepertinya dia terkejut. Dan tak lama suaranya terdengar kembali, dia lalu mengatakan bahwa dia juga begitu rindu padaku. Di ujung telpon dia terus bertannya tentang semua dan aku terus menjawab pertanyaannya. Sampai akhirnya aku bertanya, sikap apa yang seharusnya kulakukan? Seketika itu juga dia menjawab semua terserah padaku, dia memberiku dua pilihan yang teramat berat bagiku untuk memutuskan memilih yang mana. Pertama jika aku mau kita terus berhubungan tapi tidak ada seorangpun dari semua temanku yang mengetahuinya. Pilihan kedua jika aku memang lebih berat untuk meninggalkannya maka aku harus menjaga jarak dengan teman – temanku, dan jika aku lebih berat untuk meninggalkan temanku, maka aku harus siap – siap untuk kehilangannya. Kebingungan lagi –lagi menghampiriku. Mengapa semua yang ia berikan pilihan yang begitu mustahil untuk kupilih? Aku terdiam sejenak memikirkan tentang tindakanku selanjutnya. “ Aku memilih yang pertama “, seketika saja kata itu terucap dari bibirku. Aku tak mau kehilangan sahabat ataupun kekasihku, biarlah aku berbohong kepada semua temanku tentang hubungan kami ini, walaupun sudah terpikir dalam benakku apa yang akan terjadi jika suatu saat temanku mengetahui semua kebohongan ini. Mulai saat ini aku harus terus menjaga rapi rahasia ini agar tidak satupun dari temanku yang akan mengetahuinya. Hari berganti minggu, telah berlalu dengan penuh kebohongan dan rahasia antara aku dan teman – temanku. Sampai pada akhirnya kecerobohankupun berbuah pertengkaran, temanku yang juga suka pada pria itu, tanpa sepengetahuanku membuka kotak masuk handphone ku. Akhirnya apa yang aku takutkan kini terjadi, habislah aku malam itu, berjuta celaan menghujaniku, bahkan sumpah serapah yang selama ini tidak pernah kudengar, keluar dari mulutnya. Air mataku tak terbendung lagi, rasa sakit hati begitu dalam kurasakan, namun aku sadar ini semua kesalahanku. Tapi sikap teman – temanku malam itu sungguh menyimpang dari dugaanku sebelumnya. Malam itu mereka begitu marah padaku. Sampai pada saatnya keluar kata yang begitu membuatku terasa telah terbunuh “ Oooh jadi gini….! Elo lebih milih cowo itu dari pada kita sahabat lo? Ok…! Mulai sekarang lo gak usah ngurusin kita lagi, urusin aja orang yang baru lo kenal itu. Karena mulai detik ini lo bukan sahabat kita lagi! “ Dengan penuh amarah salah satu temanku mengeluarkan kalimat itu. Tanpa membela diri akupun langsung berbalik dan pulang kerumahku meninggalkan mereka yang masih penuh dengan amarah mereka masing – masing. Yah itulah yang terjadi, dan menyebabkan aku hanya dapat duduk sendiri dan bertemankan sepi dalam menjalani kehidupan ku di waktu malam tiba. Tapi ada satu lagi yang sampai sekarang menjadi rahasiaku. Aku belum bisa memberitahu pria itu tentang semua kejadian waktu malam pertengkaran itu yang begitu membuatku merasa sangat tersiksa. Karena aku takut hubungan mereka akan hancur karenaku, aku tak mau menjadi gunting pemutus hubungan mereka dengan pria itu maupun teman – temannya. Hingga saat ini aku tetap berhubungan dengan pria itu seolah tak perna terjadi apa – apa antara aku dan teman – temanku. Setiap malam aku selalu berharap, semoga saja hubunganku dengan sahabat – sahabatku dapat kembali seperti dulu. Untuk saat ini biarlah aku seperti ini, mrnjalani malam dengan kesendirian. Untuk itu aku punya pesan kepada semua yang membaca tulisanku ini. “ Jagalah persahabatanmu seperti kau menjaga kehormatanmu, karena kebersamaan kasih sayang sahabatmu lebih indah dibandingkan bunga cintamu dengan seseorang yang telah tega memutuskan persahabatanmu” Ukhtie fillah. Memandang wajahmu cerah.

Yogyakarta, 2014

***Kumpulan Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan*** 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

CATATAN SENJA


Kulihat langit, seperti biasa kutemukan senyum Ibu disana. Setiap kali aku rindu Ibu aku melihat langit. Kata orang, surga ada di langit. Surga adalah tempat tinggal Ibu, meski kami tak lagi hidup di alam yang sama, kurasa Ibu ada disampingku dan selalu mengawasiku setiap waktu. Terkadang aku merasa kecewa pada takdir yang terlalu cepat memisahkan kami. Ketika aku kecewa nasihat Ibu selalu terngiang “setiap makhluk hidup akan mati dan kehidupan yang sebenarnya itu dimulai sesudah kematian.”
Namaku Senja. Hari ini aku berulang tahun yang ke dua belas. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ibu pasti mendaratkan ciumannya di keningku. Kemudian Ibu mengusap ubun-ubunku seraya berdo’a, “ya Allah… jadikanlah Senja anak shalehah, semoga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang kuat dan tabah dalam menghadapi segala macam cobaan”. Itulah kado terindah yang diberikan Ibu kepadaku. Lain halnya dengan Ayah, Ayah selalu membelikan boneka baru Barbie untukku lewat Pos.  Namun sayang, ciuman dan pelukannya tidak aku dapatkan.
“Ibu, kalau pelulusan nanti Senja ingin menjadi lulusan yang terbaik. Ibu mau ngasih apa?” Tanyaku pada Ibu.
“Apa yang Senja minta pasti Ibu kabulkan, selama Ibu masih mampu” Jawab Ibu sembari mengelus rambutku. “Katakan sayang, apa yang Senja inginkan?” Lanjut Ibu.
“Senja ingin dicium dan dipeluk Ayah!”
“Kenapa Senja menginginkan itu?” Jawab Ibu serak.
Mungkin Ibu bisa merasakan betapa aku merindukan kehangatan Ayah.
“Senja merasa terakhir kali dipeluk dan dicium Ayah saat Senja naik ke kelas 4. Sudah lama Ayah tidak mencium dan memeluk Senja”. Kulihat Ibu memalingkan wajahnya. Entah apa yang sedang Ibu pikirkan. Adzan maghrib berkumandang Ibu mengajakku untuk menghadap Sang Kuasa. “Mintalah kepada Tuhan apa yang Senja inginkan!” Ujar Ibu sebelum aku berwudhu’.
Besok pengumuman pelulusan. Aku tak sabar menunggu hari esok dan mendapatkan hadiah atas usahaku. Aku mencari Ibu untuk menanyakan perihal hadiah yang kuinginkan. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil aku menuju kamar Ibu. Pintu kamar Ibu terbuka sedikit dan kulihat Ibu tersedu di samping tempat tidur. Aku meminta izin untuk masuk.
“Ibu, kenapa nangis?” Tanyaku saat aku duduk disampingnya. Ibu memelukku, seraya berkata “Ibu tidak apa-apa sayang, Ibu cuma ingin nangis, Senja harus kuat ya”.
Aku mengangguk meski tidak memahami maksud perkataan Ibu. “Senja harus kuat ya…”. Kata-kata Ibu terngiang semakin jelas. Akupun larut dalam isakan tangis dan pelukan Ibu.
Hari ini adalah hari yang kuyakini untuk kembali mendapatkan kehangatan Ayah. Aku berangkat sekolah bersama Ibu. Kutanyakan pada Ibu, “mengapa Ayah tidak bersama kami?”. Ayah akan menyusul, hanya itu jawaban Ibu. Sesampainya di sekolah, kulihat semua teman-temanku datang bersama kedua orang tuanya. Jika ada yang menanyakan dimana Ayah, sambil tersenyum, aku menjawab sebentar lagi Ayah akan datang.
Pengumuman hasil pelulusan terbaik sudah dari tadi dimulai, dan aku dinobatkan sebagai terbaik pertama, tapi Ayah masih belum juga datang. Aku mulai cemas. Kulihat sikap Ibu sangat tenang, aku jadi tak tega membuyarkan ketenangan Ibu. Sebelum aku berjalan menuju panggung, Ibu memelukku, “ Ibu bangga pada Senja!”. Setelah penyerahan kenang-kenangan selesai aku kembali duduk disisi Ibu. Ibu kembali memeluk dan menciumku. Lalu Ibu berkata, “tadi Ayah sempat menelpon Ibu, sayang. Katanya Ayah harus keluar kota untuk mengurusi proyek, dan Ayah menitip salam untuk Senja. Ayah sangat menyayangi Senja”. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku sangat kecewa. Kecewa, karena ternyata Ayah lebih memilih mencintai pekerjaanya ketimbang aku.
***
Hari ini aku resmi menjadi siswa SMP favorit di kotaku. Aku menghabiskan waktu-waktu liburku di rumah bersama Ibu dan pastinya tanpa Ayah. Alasan Ayah kali ini keluar kota, meeting dengan beberapa kliennya. Dan mulai detik ini, aku ingin melupakan asaku untuk kembali mendapatkan kehangatan Ayah. Aku ingin menjalani hidup ini layaknya air yang mengalir di sungai, menerima semua yang memang digariskan oleh-Nya.
Dan sekarang, akupun harus kehilangan Ibu untuk selama-lamanya. Ibu meninggal saat hendak di larikan ke rumah sakit. Mobil yang di kendarai Ibu menabrak trotoar jalan dan Ibu terjungkal keluar. Mungkin semua ini adalah episode terakhir yang harus kujalani.
“Ibu… dengan siapa Senja akan berbagi kasih?” Ucapku lirih saat berada di Mobil jenazah.
Meskipun Ibu telah tiada, aku ingin membagi kebahagianku dengan Ibu, selain dengan do’a, cara yang kutahu hanyalah melihat langit dan menemukan senyummu disana, Ibu.   
***Kumpulan Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan*** 
   

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS