Bulan Juni yang dingin. Malam yang menjemukan.
Kuambil mantel yang tergeletak pasrah diatas meja dan kuputuskan untuk keluar
dari Motel,salah satu Hotel di Bandung. Kulangkahkan kaki menelusuri jalan trotoar.
Udara kota Bandungkala itu begitu menusuk, merasuk dalam tubuh setiap insan. Jalanan
mulai nampak sepi, hanya suara petir yang menggelegar disertai lebatnya hujan
yang terdengar di seantero kota Bandung. Aku terus melangkahkan kakiku.
Hidungku nampak memerah, lantaran menghirup udara yang
dingin
Sesampainya di persimpangan jalan, langkahku terhenti.
Kuputuskan untuk masuk ke Cafe yang berada dipinggir persimpangan jalan itu.
Sebuah Cafe yang eksotis, dengan sajian hidangan yang istemewa, membuat
pengunjung betah berlama-lama nangkring di Cafe itu.
Aku duduk di kursi deretan terdepan.
Kemudian seorang pelayan datang menghampiriku.
“Selamat malam, Tuan. Mau pesan
apa?” Dia menyodorkan daftar menu ke mejaku.Dan aku memesan secangkir kopi susu
hangat, dengan kentang goreng barbeque.
“Baik, tunggu sebentar, Tuan, pesanan akan segera
datang” Pelayan itu bergegas pergi meninggalkanku. Tak lama kemudian pelayan
itu kembali menghampiriku dengan membawa pesananku.
“Selamat menikmati, Tuan”ucapnya, sambil tersenyum.
“Terimakasih...!” Sahutku singkat.
Tiba-tiba pandangan mataku langsung tersorot pada
seseorang,seorang lelaki tuayang sedang duduk di atas platform sembari
memainkan Piano bergaya instrumental, Beethoven, Für Elise. Alunan melodi yang
dimainkannya membuat para pengunjung terhenyak dan terpukau.
Sambil mendengarkan alunan musik, perlahan tapi pasti,
sedikit demi sedikit kunikmati minuman serta camilan yang tersaji di atas mejaku,hingga
tak tersisa.
Musik yang merdu. Namun dari merdunya alunan musik
itu, aku dapat menerka jika lelaki tua itu sedang dilanda kesedihan yang mengakar
dalam hidupnya. Sehingga dia memainkaninstrument, Beethoven, Für Elise. Intsrument
sedih, menyentuh hati, yang terkadang juga menyayat.
Lelaki tua itu seolah menggali lagi luka lama hidupnyayang
tersimpan di ceruk hatinya yang terdalam. Aku pun ikut larut dalam nada-nada
yang dimainkannya. Sepatah kata pun tak dapat aku rapalkan. Aku hanya bisa
tertegun sedih mendegarnya. Tak terasa aku mulai menitikkan air mata, buliran-buliran
bening membasahi pipi mengalir-menganak sungai.
Tak seperti biasanya, Cafe tampak sepi malam itu.
Hanya beberapa pengunjung saja yang datang. Banyak kursi yang masih kosong, tak
berpenghuni. Kulihat seorang wanita tengah duduk manis didepanku. Dia masih
muda dan cantik. Rambutnya yang hitam pekat dibiarkannya terjuntaihingga
punggung. Diperhatikannya dengan penuh keseriusan lelaki tua yang sedang
memainkan piano itu di depannya. Dia tampak menghayati nada-nada yang
dimainkannya. Sebotol bir Chivas Regal berdiri tegak diatas meja. Kemudian dia
meraihnya lalu diteguk sedikit demi-sedikit, lalu diletakkannya kembali ke
tempat semula. Dan dia masih menghayati permainan lelaki tua itu.
Di meja tengah, tampak sepasang orang tua duduk
berhadapan. Mereka sedang dilanda perasaan bahagia yang teramat-sangat. Mungkin
mereka sedang merayakan hari jadinya yang ketiga puluh. Ya, mereka sedang bernostalgia
masa bercintanya dulu, diwaktu masih bujang. Di Cafe ini tiga puluh tahun yang
lalu adalah kali pertama mereka merajut asmara. Tepat pada hari ini. Kali ini
aku tak tahu judul lagu apa yang dimainkannya.
Lagu pertama telah habis. Riuh tepukan tangan
pengunjung Cafe pun menyambutnya, meski hanya segelintir tepuk tangan saja.Lelaki
tua itu terdiam sejenak, kemudian dia mengambil sebotol bir Vodka diatas meja
piano dan menuangkannya kedalam gelas lalu menenggaknya hingga tak tersisa.
Gelas itu diletakkan kembali ke tempat semula. Tak lama kemudian dia memainkan
pianonya lagi.
Mataku masih tertuju memperhatikan setiap
gerak-geriknya.Sesaat aku melempar pandangan ke sekelilingku, lalu kemudian ke
tujuan semula.
Sudah berbatang-batang rokok aku habiskan, tapi
rasanya mulut ini masih sepat, belumpuas juga. Sama seperti mata ini yang belum
lelahmemandang lelaki tua itu. Lelaki dengan raut wajah yang penuh dengan
kesedihan.
Selang beberapa menit, lelaki itu menghentikan
permainannya.Tepuk tangan orang-orang yang ada di Cafe itu pun riuh kembali.
Tetapi hanya sebentar saja, lalu mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Laki-laki tua itu beranjak dari bangku pianonya.
Langkahnya agak sedikit gontai. Tiba-tiba pasang sorot matanya tertuju padaku,
kemudian dia menghampiriku dan duduk sampingku
“Hai, anak muda... kayaknya kamu bukan orang sini, aku
baru pertama melihatmu disini?” tanyanya dengan logat yang agak sedikit Sunda
itu.
“Ya, kenalkan, nama saya Fathir, saya Mahasiswa baru
di salah satu kampus kota ini, Pak”jawabku, sembari mengulurkan tangganku,
memperkenalkan diri.
“Oh, Rudi Darmawan, tapi aku biasa dipanggil Rudi.”
“Permainanmu luar biasa, Pak, aku sangat
menghayatinya”
“Jangan memuji berlebihan seperti itu, hanya kebetulan
saja yang dimainkan secara serius, Nak”
“Ya, seperti itulah kenyataannya, permainan Bapak
memang bagus,” jawabku “kuamati Bapak memainkan Instrument elegi, bukan
begitu?” Diaterdiam agak lama.
“Iya, memang,” dengan suara agak berat, Bapak itu
mengiyakan. “Aku teringat pada istri dan anakku, ketika aku memainkan
Instrument itu. Instrument itu seakan menjadi pengobat rasa rinduku kepada
mereka.” Lelaki tua itu menundukkan kepala sejenak, kemudian dia menoleh ke
arah meja pelayan.
“Bawakan aku sebotol bir Vodka ya...!” Teriaknya
serak. Tak lama kemudian pelayan cantik itu membawakan pesanannya. Bir itupun
ditenggaknya.
***
Namanya Maryamah, kami sudah lama menikah, empat puluh
lima tahun yang lalu.Dia asli orang Bandung. Sedangkan aku orang pendatang. Aku
memutuskan untuk kuliah disinisembari bekerja. Di Cafe inilah kita pertama kali
bertemu, ditempat duduk yang kita duduki sekarang.
Waktu itu dia sedang duduk termenung sendiri. Entah
apa yang dipikirkannya. Dia mengenakan baju jumpsuitdengan
tas warnamerah. Rambutnya dibiarkannya terjuntai sebatas punggung. Aku memperhatikannya
dengan seksama. Sebenarnya aku merasa heran.
Kami berkenalan baru beberapa menit yang lalu, bahkan
tidak lebih lama dibanding dengan umur kopi susu hangat dan berbeque yang
kupesan. Namun sepertinya dia hendak menceritakan kisah hidupnya kepadaku tanpa
merasa curiga. Tapi apa boleh buat, sepertinya kisahnya akan menarik.
“Lalu apa yang terjadi dengan isterimu sekarang?” Dia
terdiam.Sambil mengambil se batang rokok yang tergeletak di atas mejaku, dia
berucap, “bolehkah aku?” Belum sempat aku menjawabnya, kemudian dia melanjutkan
kisahnya kepadaku.
Tiga puluh tahun yang lalu. Isteriku hendak pergi ke Bali
untuk urusan bisnisnya. Siang itu, isteriku menelponku,yang pada waktu itu sedang
berada di bandara. Entah kenapa dia ingin sekali menumpangi pesawat Sukhoi yang
berkecepatan tinggi. Padahal pesawat itu baru perdana terbang di Indonesia. Ya,
demi isteri tercintakuaku pun mengabulkan permintaannya dengan berat hati.
Akhirnya isteriku menumpangi pesawat itu.
Tepat jam13.30. ada kabar bahwa pesawat Sukhoi mengalami
kecelakaan. Dan pesawatnya masih belum diketemukan. Aku berharap isteriku akan
selamat.
***Kumpulan Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan***
0 Response to "LELAKI TUA DAN BEETHOVEN"
Posting Komentar