Gadis itu masih
juga sendiri, duduk mematung di bawah pohon beringin yang rimbun. Keadaan sekeliling
memang sedikit aneh, tak jarang ada yang bicara sendiri sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Ada yang berteriak histeris ketakutan, dan ada pula yang mengomel tak
henti-henti, entah dengan siapa.
--o0o--
Senja telah berlalu, dan
digantikan dengan malam. Matanya memindai lepas ke angkasa, seperti menanti
kehadiran kerlip bintang, tapi tatapan itu kosong, mulutnya nampak bergumam
seolah dia sedang bicara dengan seseorang, sembari tersenyum jemari-jemari
lentiknya memainkan ujung-ujung rambut yang tergerai bebas tertiup angin senja.
Mata itu masih
disitu, memindai ke angkasa tanpa reaksi nyata. Namun ada butiran bening
membasahi di sudut matanya, mengalir menganak sungai. Namun tidak sedikitpun
dia menyekanya, atau sesungukan layaknya orang biasa menangis.
Malam telah
datang, menghadirkan bulan yang menyembul di beranda angkasa luas, bersama
bintang-bintang gemerlap. Hanya kesunyian yang tercipta, hingga terdengar jelas
senandung serangga malam. Dia masih disitu, kini terdengar lirih suaranya,
melantunkan kidung kerinduan akan sesuatu untuk bisa dia dekap dalam hadir
nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tak seorang pun yang
bisa tahu akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya,
saat harus kehilangan semua yang ia cintai.
Adakah
puing-puing berserakan, bisa menjadi kesaksian yang nyata? Bisakah sang angin
beritakan kejadian yang sesungguhnya, dan bisakah sang senja kala itu menaungi
rasa takut yang mencekam diri dan saudara-saudaranya. Saat itu yang ada hanya
pasrah dalam doa, entah hari ini atau lusa, dia atau keluarga yang lain,
menjadi giiliran kebiadaban pembantaian para penjajah.
--o0o--
Sore itu,
sekembalinya dari sekolah, belum sempat aku melepas seragam sekolah, dan
melepas penat karena seharian berkutat dengan pelajaran. Tiba-tiba orangtuaku
menyuruhku dan adik-adikku agar bersiap-siap, karena mereka harus pindah untuk
sementara ke desa sebelah.
“Memangnya ada
apa lagi pak?” Tanyaku penasaran, saat sehabis shalat Isya’ berjamaah, meski
aku sudah menduga pasti ada penyerangan lagi yang akan terjadi di desa ini,
seperti yang sudah-sudah. Kabarnya penduduk desa mendengar kalau akan ada
penyerangan oleh penjajah ke desaku. Aku dan adik-adikku cuma bisa membayangkan
kengerian pasti akan terjadi. Malam itu aku dan keluargaku berjaga-jaga agar
tidak tidur terlampau pulas. Aku melihat ibu membelai kening si kecil, Jamilah,
yang saat itu masih berumur enam tahun dan adikku Taufiq yang masih berusia sepuluh
tahun.
Mataku tak bisa
terkatup walaupun sejenak. Ayahku pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di
raut wajahnya yang sudah termakan usia, namun masih nampak tegar meski
terkadang sakit-sakitan. Sedang Ibu menatap kosong penuh kesedihan, seakan dia
dapat merasakan kegelisahan dalam keluarga, apa yang akan terjadi nanti.
--o0o--
Saat pukul tiga
pagi, aku beserta keluargaku masih terus berjaga-jaga. Sementara dari kejauhan
terdengar sayup teriakan-teriakan warga desa.
“Ada penjajah
datang! Ada penjajah datang!!” Suara teriakan warga menggelegar di seantero
desa. Rasa takut kian mencekam, aku memeluk Taufiq, yang tengah duduk
disampingku. Tanpa perlu di komando kami semua bersama warga berhamburan keluar
rumah, ibu pun berlari sambil mengendong Jamilah, sementara Aisyah mengandeng
Taufiq, kami bersama warga desa mencoba menyelamatkan diri sebisa mungkin.
Karena warga, juga ayahku tidak menyangka kalau para penjajah itu akan datang
secepat kilat.
Pemandangan
yang saat tadi hening mencekam, kini kian menjadi riuh disebabkan teriakan dan
lengkingan histeris para warga yang terkena sabitan senjata tajam, anak panah
yang melesat, menerjang tanpa belas kasihan menghujam tubuh tak berdosa, serta
peluru yang membabi buta. Kami mencoba berlari ke tempat yang kami rasa aman.
Akhirnya aku dan keluargakku, juga warga bergegas berlari menuju masjid.
Ternyata mereka masih mengejar, keluargaku serta para warga dapat menyaksikan
dari celah-celah jendela bagaimana mereka membakar rumah-rumah kami, bagaimana
mereka meledakkan bom-bom disekitar kami.
Bukan tanpa
perlawanan kami lari, pemuda-pemuda desa pun dengan sekuat tenaga memberikan
perlawanan. Tapi apalah kemampuan dari hanya sebilah golok dan bambu runcing.
Tubuh-tubuh tak berdosa berserak-serakan di jalanan. Ada yang tertebas
kepalanya hingga putus, dan ada pula yang terkena peluru hingga tertembus di
kepalanya. Sekujur tubuh bersimbah darah, bau anyir, di lantai dan di pelataran
sekitar dibanjiri dengan darah.
“Ya Tuhan… ada
lagi korban yang jatuh tepat di depanku!” Ungkapku sedih. Mereka jatuh
bersimbah darah seraya memegangi dadanya yang terkena tembakan, disini darah,
disana pula darah dan erangan kesakitan. Lantas dimana ayah? Aku tak kuasa membendung
air mataku, menyaksikan pemandangan yang memilukan, aku resah, aku bingung, karena
sejak dari tadi aku tak melihat ayah.
“Ayah!! Ya Tuhan
ternyata ayah telah terluka, terkena sabitan golok” aku memegang ayah yang
bersimbah darah seraya menangis, “Ayah bertahanlah! Ayah pasti akan selamat!”
ucapku resah.
“Aisyah jaga
ibu dan adik-adikmu ya…!” Ucapnya lirih
“Ayah!!!” Aku dan
adikku Taufiq, mencoba menguncang ayah agar bangun, namun usahaku nihil. Belum
usai sedihku, tiba-tiba adikku Jamilah jatuh terbujur tepat juga dihadapanku, serta
ibuku rebah bersimbah darah lantaran anak panah tertancap pada tubuh mereka.
--o0o--
Gadis itu masih
juga sendiri duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Mata itu masih
disitu, menatap ke angkasa tanpa reaksi
nyata.
Malam mulai
menjemput, menghadirkan bulan, sementara aku? sedih sepanjang hari, aku teramat
sangat merasa kehilangan tanpa bisa kuberteriak lagi, aku rindukan mereka
menjemputku juga, menjemput kepelukan mereka hingga waktu tiba. Satu yang
tersisa yang aku punya, Taufiq, juga pergi meninggalkanku, karena terserang
penyakit yang mewabah di sekitar pengungsian.
“Selamat jalan
Taufiq, ibu, ayah, Jamilah, aku juga ikut menjemput kalian”
Entah sampai
kapan semua akan tertahan di relung dada, sesak jiwa bernafas walau sekedar
menghirup udara.
Biarlah semua
membisu, mematung di jejeran pemakaman, gugurkan bunga kemboja pada pusaran,
basah sudah kuhempaskan jiwa. Menyeka perih jika ada yang tertinggal saat
tertidur tadi.
Aku ingin semuanya
usai, semuanya sirna, tanpa ada sayatan pisau di lubuk hatiku. Aku kehilangan jiwa
dan angan kehidupan setelah aku di tinggalkan orang-orang yang aku cintai.
Aku ingin
hari-hariku penuh ceria dan canda tawa, tiada mendung kesedihan di bola mataku.
Aku ingin membebaskan
penat jiwaku, bersenandung kidung manja milik ibuku, kidung rindu milik ayahku
dan kidung riang milik adik-adikku.
“Selamat jalan
semua, aku ingin tidurku terpulas malam ini, tanpa harus terusik oleh siapa pun,
aku ingin terbang bebas pergi menuju ke kayangan bersama para dewa-dewi, menata
hari tanpa letih dan kepedihan. Biarkan aku tertidur pulas disini selamanya,
menjemput mimpi saat kembalikan hidup tanpa sukma terjaga, bersama kerdil dan
kebodohan yang tak bisa kutahan lagi, selamat malam mimpi, selamat tinggal
kehidupan dan angan kepedihan, kusudahi hingga hari ini!”.
--o0o--
“Suster Eva!
mana Aisyah? Kenapa dia belum juga ada di ruanganya?” Tanya suster Farah yang
juga bertugas menjaga para pasien di rumah sakit jiwa, dimana Aisyah dirawat.
“Tadi dia ingin
duduk-duduk di halaman samping, masak Aisyah belum juga masuk, sekarang kan
sudah larut malam” Ujar suster Eva.
“Meski
pikiranya agak terganggu, tapi Aisyah kan tidak biasanya seperti ini!” Suster Farah
resah.
“Biar aku cari
Aisyah” Jawab Suster Vina yang baru tiba dari ruang sebelah dan kebetulan
mendengar percakapan mereka.
“Ya ampun.. Aisyah..! Apa yang sudah terjadi
dengan kamu?!” Suster Vina menemukan Aisyah sudah dalam keadaan tak bernyawa, menggantungkan
diri tepat dibawah pohon beringin. Ternyata teriakan Suster Vina terdengar oleh
yang lainya, hingga para petugas lain pun datang dengan penuh cemas dan tanya.
Ternyata Aisyah
memang tidur terlelap untuk selamanya, menjemput kembali keluarganya, menjemput
semua kenangan pedih untuk dilepaskan, meski jalan tertempuh salah, dengan seutas
tali yang terikat dilehernya, menggantungkan diri di bawah pohon beringin.
Rembulan dan
bintang kesaksian bisu yang takkan pernah berucap, meski tahu apa yang terjadi,
serangga malam pun hanya bisa berkidung duka dengan nyanyian, malam kian
merayap kelam di hempas arus kehidupan, menyudahi untuk agar mentari esok tetap
bisa bersinar kembali.
***Kumpulan Cerpen Ahmad Fathoni Fauzan***
0 Response to "GADIS POHON BERINGIN"
Posting Komentar